Hilangnya Pendidikan Berbasis Cinta, Taman Bacaan Kritisi Cara Pandang Sekolah

Sekolah biar kaya. Sekolah agar sukses. Begitulah doktrin banyak orang tentang pentingnya pendidikan. Sekolah dianggap cara untuk seseorang bisa kaya dan sukses. Lalu ditambah embel-embel. Karena bila kaya dan sukses, segalanya mudah dan gampang. Ibadah pun nyaman, apalagi yang lain. Apa iya begitu? Hebat betul ya sekolah.

 

Banyak orang lupa. Kalau cuma mau kaya dan sukses sih, banyak juga kok orang yang tidak sekolah tapi kaya dan sukses. Itu bukti bahwa sekolah bukan segalanya. Tapi entah kenapa? Sekolah atau pendidikan, sering kali di-doktrin ke anak-anak sebagai cara untuk kaya dan sukses. Sudah sebegitu materialistis-kah orang memandang pendidikan? Sebegitu duniawi-kah orientasi dari sekolah untuk anak-anak?

 

Maka wajar, pendidikan di era digital sekarang jadi bertumpu kepada materi. Sukses atau tidak suksesnya seseorang dipandang dari kekayaan. Seberapa banyak harta yang dikumpulkan? Alhasil, anak-anak SD pun sekarang isi tas-nya berat-berat. Sedari kecil sudah ikut les ini les itu. Agar pintar di sekolah dan mampu bersaing. Lalu berhasil mencapai cita-cita. Agar kaya dan sukses. Di saat yang sama, sekolah akhirnya jadi beban. Bukan lagi proses untuk mengenal jati diri, tidak lagi untuk membangun akhlak yang baik.

 

Apalagi di masa pandemi Covid-19. Tidak sedikit anak-anak sekolah yang stres. Terbebani karena dijejali materi pelajaran seperti di kelas tatap muka. Sementara prosesnya jarak jauh. Sekolah dan belajar jadi momen membangun rasa takut anak, memperbesar kekhawatiran siswa. Ahh, sekolah sekarang jadi tidak enjoy, jadi tidak asyik lagi.

 

Pendidikan dianggap alat untuk kaya dan sukses. Sekolah dipandang sebagai jalan pintas untuk meningkatkan status sosial. Sekolah untuk meraih cita-cita lalu dipuji banyak orang karena kaya dan sukses. Jadi, sekolah saja yang tinggi. Walau tidak berguna untuk orang lain.

 

Sekolah yang tinggi. Agar lebih egois dan jadi individualis. Sekolah yang tinggi biar makin tidak peduli pada orang lain. Sekolah-lah, biar lebih mahir menghujat orang, membenci, dan menebarkan hoaks ke mana-mana. Sekolah biar akhlak makin runtuh. Jika perlu, sekolah yang tinggi biar jadi orang murahan atau merampas hak asasi orang orang lain.

 

Lalu, di mana manfaat sekolah? Agar sekolah mampu menolong orang lain, sekolah untuk bermanfaat bagi sesama. Sekolah yang mampu mengajarkan anak-anak jadi mampu membedakan yang baik dan tidak baik dalam hidup? Sekolah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sekolah unutk akhlak yang lebih baik dalam hidup.

 

Sekolah jadi terlalu materialistis. Itulah faktanya.

Ada benarnya Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland. Dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners” menyebutkan bagi kebanyakan orang, khususnya di Asia, ukuran sukses seseorang dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki seperti rumah, mobil, uang dan harta lainnya. Tapi passion atau rasa cinta jadi kurang dihargai. Kebaikan dan kreativitas tidak berarti dibandingkan kekayaan. Kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada “cara” memperoleh kekayaan iru sendiri.

 

Maka pendidikan atau sekolah pun jadi identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban” bukan pemahaman, bukan pada sikap.  Sekolah dianggap tempat untuk lulus dari ujian, dari tes masuk PTN. Itulah yang jadi sebab anak-anak dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Agar jadi orang yang “tahu sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun; bukan tahu banyak tentang sesuatu hal”. Apa saja dikomentarin, apa saja diomongkan.

 

Jadi bagaimana harusnya sekolah atau pendidikan di era digital?

Tentu, ada banyak mazhab dan argumen yang bisa diajukan. Tapi intinya, sekolah bukan segalanya untuk urusan dunia. Apalagi hanya untuk kaya atau sukses. Tanpa punya rasa kepekaan sosial atau kepedulian kepada sesama. Sekolah harusnya untuk menolong orang lain. Sekolah untuk mengedepankan “rasa cinta” dalam hidup. Sekolah yang menjadikan dunia untuk bersiap ke akhirat. Lebih beradab, lebih punya akhlak yang baik, Karena adab sejatinya memang di atas ilmu.

 

Maka sekolah, sejatinya harus mampu menghargai proses bukan hasil. Sekolah meraih nilai-nilai bukan harga tertentu. Agar mampu menghargai orang lain karena pengabdiannya, bukan karena kekayaannya. Biarlah anak-anak memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya. Daripada mengikuti dan tahu banyak mata pelajaran tapi tidak ada yang dikuasainya.

 

Pendidikan berbasis “rasa cinta” itu membiarkan anak memilih profesi di masa depan sesuai “passion”. Bukan memaksanya untuk meraih profesi tertentu yang hanya lebih cepat menghasilkan uang. Karena “passion” adalah anugerah Allah SWT. Jadi pendidikan harus mampu menemukan “passion” anak. Sehingga guru berperan sebagai fasilitator, bukan “dewa” yang harus tahu segalanya.

 

Dan yang terpenting, anak sekolah atau berpendidikan semata-mata karena si anak ingin jadi orang yang bermanfaat, bukan orang kaya atau sukses. Anak-anak yang mampu berpikir objektif, berjiwa besar, dan bersikap realitis. Itulah pendidikan berbasis rasa cinta, bukan pendidikan materialistis. Seperti TBM Lentera Pustaka yang mengemban pendidikan berbasis cinta. Sebuah misi pengabdian, untruk pemberdayaan. Salam literasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen #PendidikanBerbasisCinta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *