Catatan Pegiat Literasi, Kenapa Kamu Gemar Mengeluh?

Ini sekadar ilustrasi, untuk menjadi renungan bersama. Ketika seorang kakek dan istrinya mengendarai mobil keluaran tahun 90-an. Mobil lama tapi masih bisa digunakan. Sementara mobil lainnya dikendarai seorang pemuda, disampingnya duduk seorang wanita cantik. Tentu, mobilnya keluaran terbaru, sangat mulus, dan bikin yang melihat terkagum-kagum. Bedanya, si kakek mobilnya sudah lama. Si pemuda, mobilnya tergolong anyar dan matik lagi.

Saat berpapasan di parkiran. Sang kakek melirik ke pemuda bermobil baru sambil bergumam dalam hati, “Andaikan saja mobilku seperti mobil pemuda itu….”. Seolah ingin punya mobil baru keluaran terbaru sambil keluar membukakan pintu untuk istrinya. Karena sudah pensiun, sang kakek tidak punya uang lagi untuk membeli mobil baru.

Saat melihat sang kakek membukakan pintu mobil istrinya, si wanita cantik dari dalam mobil pun bergumam dalam hati, “Seandainya saja suamiku seromantis kakek itu, walau sudah tua tapi masih mau membukakan pintu mobil untuk istri tercintanya.” Sementara si pemuda yang mengendarai mobil si wanita cantik pun bergumam pula, “Andaikan saja aku seperti Bapak itu, walaupun mobil tua tapi milik sendiri. Daripada mobil terbaru seperti ini tapi aku hanya seorang sopir.”

Saat sang kakek pun masih berdecak kagum, memandangi mobil keluaran terbaru si pemuda dan wanita cantik itu. Dalam hatinya, terbetik pikiran, “Seandainya saja pintu mobilku tidak rusak seperti mobil mereka itu, pasti aku tidak perlu repot-repot harus membuka pintu dari luar.”

Begitulah kehidupan manusia. Ternyata dari kisah di atas, setiap orang punya sudut pandang yang berbeda-beda. Selalu punya cara pikir yang berbeda dari peristiwa yang dilihatnya. Seperti mindset yang ada pada sang kakek, si pemuda, dan wanita cantik yang berpapasan di parkiran mobil itu. Ada sebuah pembelajaran yang sangat berharga untuk siapapun dari kisah tersebut, bahwa:
1. Terkadang manusia selalu melihat “rumput tetangga” selalu lebih hijau dari rumputnya sendiri. Manusia lebih senang membandingkan apa yang dimilikinya dengan yang orang lain punya.
2. Manusia sering lupa bahwa Allah SWT telah mengatur rezeki dan nikmat kepada setiap hamba-Nya dengan sangat adil. Apapun yang dimiliki, sebenarnya sudah pantas untuk si manusianya. Tidak lebih tidak kurang, sangat pas.
3. Manusia acapkali mengeluh atau kecewa dalam hidup bukan disebabkan karena kurangnya nikmat Allah SWT. Tapi karena kurangnya rasa syukur atas apa yang dimilikinya.

Apa artinya kisah di atas untuk pembaca?
Jadilah hamba Allah SWT yang mampu bersyukur. Untuk urusan apapun, di mana pun, dan dalam keadaan bagaimana pun. Syukurilah apa yang sudah dimiliki, jangan pernah membandingkan apapun dengan orang lain. Apalagi sibuk mencari-cari yang tidak dimiliki hingga lupa bersyukur.

Hidup memang perlu ikhtiar, perlu kerja keras. Tapi hidup pun mewajibkan siapapun untuk tetap bersyukur, ikhlas, dan sabar dalam segala keadaan. Agar mampu berpikir objektif sehingga bisa lebih realistis dan sehat. Bukan malah gelisah atau mengeluh sehari-hari sehingga hati dan pikiran jadi lebih cepat sakit.

Maka, senangkanlah Allah SWT. Bila ingin disenangkan-Nya selama di dunia. Dan jangan lupa bersyukur. Karena semua yang kita punya, sudah sangat pantas untuk kita. Jadilah literat dalam hidup di waktu tersisa. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *