Menarik untuk dicermati, soal kiprah kepenulisan di Kompasiana. Sebagai platform blog yang memungkinkan penggunanya untuk menulis, mengunggah, dan membagikan konten berupa teks, foto, dan video yang dapat “dibaca” atau “disimak” orang lain. Ada istilah pengguna yang berkontribusi di Kompasiana disebut sebagai “Kompasianer”. Nah ternyata, efektif hari ini (7/4/2025), status level saya sebagai kompasianer “berubah” dari sebelumnya “penjelajah” menjadi “fanatik” karena poin yang diperoleh berada di rentang 50.001—100.000 poin. Level penulis Kompasiana ini jadi bukti adanya tingkatan atau tahapan kepenulisan yang seorang kompasianer.
Seperti kita ketahui, Kompasiana membagi level penulis menjadi tujuh tingkatan berdasarkan poin yang diperoleh, yaitu: 1) Debutan (100–500 poin), 2) Junior (501–1500 poin), 3) Taruna (1501–10.000 poin), 4) Penjelajah (10.001–50.000 poin), 5) Fanatik (50.001–100.000 poin), 6) Senior (100.001–250.000 poin), dan 7) Maestro (250.001–1.000.000 poin). Jadi level penulis di Kompasiana mengacu pada poin. Kalau kita Simak di profil akun Kompasiana, setidaknya ada 6 indikator poin, yaitu 1) jumlah artikel, 2) jumlah pembaca, 3) jumlah komentar, 4) nilai, 5) artikel yang jadi headline, dan 6) artikel yang jadi pilihan. Saya sendiri hari ini ”naik level” menjadi penulis ”fanatik” di Kompasiana dengan 50.080 poin. Tapi ingat, saya bergabung di Kompasiana sejak 14 Oktober 2012 (selama 12 tahun, 6 bulan). Tentu, bukan waktu yang sebentar kan?
Seberapa penting level penulis atau kompasianer di Kompasiana? Mungkin ada banyak persfektif untuk menjelaskannya dan berbeda pula sudut pandangnya. Tapi bagi saya, level penulis di Kompasiana bisa jadi cara untuk mendefinisikan ulang tentang konsistensi dalam aktivitas menulis. Soal konsisten atau tidak kita dalam dunia kepenulisan. Terlepas dari perdebatan menulis itu susah menulis harus punya bakat, justru level penulis di Kompasiana bisa jadi “benchmark” atau patokan seberapa konsisten kita menulis? Siapapun yang jadi penulis pasti paham, mereka tidak punya tolak ukur tentang konsistensi dalam menulis. Ada yang menulis setiap hari, ada yang seminggu sekali atau ada yang menulis sebulan sekali bahkan setahun sekali, Menulis itu tidak ada acuannya, tidak ada pula komparasinya. Semua tergantung di penulisnya, mau menulis atau tidak? Persis seperti membaca buku, tidak ada acuannya. Maka level penulis di Kompasiana jadi penting untuk mendefinisikan ulang tentang konsistensi dalam menulis bagi penulisnya sendiri.
Tanpa mengurangi rasa hormat, bila dilihat dari sisi poin, saya membuat kategori 7 level penulis Kompasiana ke dalam dua kategori: 1) penulis belum konsisten untuk level a) Debutan (100–500 poin), b) Junior (501–1500 poin), c) Taruna (1501–10.000 poin) dan 2) penulis konsisten untuk level a) Penjelajah (10.001–50.000 poin), b) Fanatik (50.001–100.000 poin), c) Senior (100.001–250.000 poin), dan d) Maestro (250.001–1.000.000 poin). Dengan kata lain, level penulis di Kompasiana itu bisa jadi simbol konsistensi seseorang alam menulis.
Saya coba sedikit membahas pada apa yang terjadi pada saya sendiri. Sebelumnya, saya berada di level “penjelajah” (berada di 10.001–50.000 poin). Sebagai simbol saya yang memiliki semangat untuk tetap menulis dengan menjelajahi berbagai peristiwa, pemikiran, konsep atau apapun yang pantas dibagikan. Selain konsistensi dalam menulis, di level penjelajah ini, saya merasa harus punya keberanian untuk menulis dan mengeksplorasi apapun ke dalam tulisan. Tipikal yang antusias mencari ide dan menuangkannya secara langsung ke dalam tulisan. Sehingga ada persfektif baru tentang banyak hal yang sebelumnya sudah kita ketahu tapi belum mendalam. Semangat penjelajah itu persis seperti Marco Polo atau Christopher Columbus saat menemukan daerah baru atau benua baru.
Nah hari ini, saya naik kelas ke level ”fanatik” (50.001–100.000 poin), artinya saya harus punya
keterikatan atau semangat yang sangat kuat untuk selalu menulis di Kompasianan. Minimal 1 hari 1 tulisan, begitulah kira-kira. Karena fanatik, maka aktivitas menulisnya harus ekstrem. Karena orang yang fanatik biasanya pasti punya dedikasi yang luar biasa dalam menulis. Terserah orang lain mau baca atau tidak, asal menulis setiap hari. Konsistensi menulis secara rutin harus dijaga, harus lebih loyal menulis daripada nongkrong di kafe atau ngobrol sama teman. Fanatik itu seperti fans sepak bola yang rela mengecat tubuh dengan warna tim kesayangannya atau fans politis yang selalu membela kebijakannya si politisi walau kontroversial, tidak boleh ada yang mengkritik politisi idolanya.
Nah dua level tertinggi berikutnya adalah ”senior” (100.001–250.000 poin), yang berarti penulis di Kompasiana yang sangat konsisten menulis, punya “jam terbang” tinggi, dan pengalaman yang mumpuni. Seorang senior pasti dihormati karena pengalaman atau kualitas kepenuisannya. Sedangkan level tertinggi yaitu “maestro” (250.001–1.000.000 poin), berarti sudah di level “guru” atau “master”. Seoarang maestro pasti punya keahlian luar biasa dalam bidang tertentu seperti Mozart yang maestro musik klasik atau Leonardo da Vinci, sang maestro seni visual dan inovasi di balik karya seperti Mona Lisa dan The Last Supper.
Tentu, level penulis di Kompasiana hanyalah tingkatan yang menunjukkan kontribusi seorang kompasianer di Kompasiana. Sekadar cara untuk identifikasi atas poin yang diperoleh seorang penulis di platform blog yang dibuatnya sendiri. Tapi lebih penting dari itu adalah level penulis di kompasiana menunjukkan konsistensi seseorang dalam menulis. Orang yang mau dan berani menjalani menulis sebagai proses, menulis sebagai perbuatan bukan pelajaran. Menulis sebagai aksi, bukan bahan diskusi. Tentu atas dukungan kedalaman analisis, struktur yang menarik, kreativitas, dan kualitas tulisan itu sendiri.
Jadi bagi saya, level penulis di Kompasiana merupakan ”cara benar” untuk mengukur konsistensi dan komitmen seseorang dalam aktivitas menulis. Sebuah cara menghargai menulis sebagau proses dan praktik, bukan menulis yang sebatas teori. Menulis dulu, menulis terus, dan menulis lagi tanpa henti. Karena biar bagaimana pun, resep menulis yang paling manjur adalah menulis, menulis, dan menulis. Asal konsisten menulis, terserah orang lain mau baca atau tidak. Salam literasi!