Di sebuah kampung kecil di kaki Gunung Salak yang asri, hiduplah seorang anak perempuan bernama Lila. Sejak kecil, Lila sangat suka membaca. Daripada main atau ngobrol yang nggak jelas, Lila memilih lebih dekat dengan buku. Tapi sayang, buku-buku di rumahnya terbatas. Tidak banyak buku yang bisa dibaca.
Beruntung, rumah Lila tidak jauh dari taman bacaan. Sekitar 10 menit berjalan kaki. Terkadang orang tuanya mengantar ke taman bacaan. Dan kini, Lila tergolong anak yang rajin membaca. Seminggu 3 kali, dia selalu ke taman bacaan. Lila sering menghabiskan waktu berjam-jam di taman bacaan, di antara rak-rak buku yang menjulang tinggi, tenggelam dalam berbagai cerita dan pengetahuan. Sambil tetap bergaul dengan teman-teman yang gemar pada buku.
Lila tidak hanya membaca buku fiksi seperti dongeng dan novel anak-anak. Tapi juga buku-buku non-fiksi, ensiklopedia, dan buku-buku ilmiah populer. Ia memiliki rasa ingin tahu yang besar dan selalu berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya melalui buku. “Kenapa langit berwarna biru, Bu” atau “Bagaimana cara kerja sepeda listrik?” adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan Lila. Ia sering mencari jawabannya sendiri di buku ensiklopedia jika ibunya tidak tahu.
Suatu hari, kampung tempat tinggal Lila dilanda masalah besar. Sumber air satu-satunya dari sungai yang mengalir dari gunung, tercemar limbah. Entah, limbah dari mana? Karena di atas Gunung terlalu banyak vila dan resto yang dibangun. Banyak warga yang sakit, mengalami demam, diare, dan gatal-gatal. Dokter desa pun kewalahan menangani banyaknya pasien. Warga kampung panik dan hampir putus asa.
Lila teringat pernah membaca buku tentang penjernihan air, sebuah buku tebal dengan gambar-gambar alat-alat canggih. Ia segera mencari buku itu di rak bagian tengah di taman bacaan. Dengan tekun, Lila mempelajari setiap halaman demi halaman, memahami prinsip-prinsip dasar filterisasi dan desinfeksi. Ia tahu alat-alat di buku itu terlalu mahal dan sulit didapat di kampungnya. Tapi Lila tidak menyerah. Ia berpikir keras mencari cara untuk membuat alat penjernih air sederhana dari bahan-bahan yang ada di sekitarnya.
Lila mengajak teman-temannya, Bima dan Sari, untuk membantunya. Bima pandai membuat kerajinan dari bambu, dan Sari memiliki pengetahuan tentang tanaman obat. Bersama-sama, mereka mengumpulkan bambu, batu, pasir, arang, dan tanaman-tanaman yang memiliki sifat antibakteri. Sekelompok anak pembaca buku ini bekerja keras selama berhari-hari, mengikuti petunjuk dari buku dan melakukan percobaan berkali-kali. Terus-menerus dan pantang menyerah.
Akhirnya, dengan bantuan Lila dan pengetahuannya, Bima yang cekatan, dan Sari yang memahami alam, mereka berhasil membuat beberapa alat penjernih air sederhana. Alat penjernih air yang sudah diujicobakan. Bahkan Lila dan temannya memproduksi alat penjernih air lebih banyak. Untuk disumbangkan ke rumah-rumah warga yang terkena dampak limbah air di Sungai. Air bersih kembali mengalir di kampungnya, dan warga pun berangsur-angsur sehat kembali.
Sejak saat itu, Lila dikenal bukan hanya sebagai anak yang rajin membaca. Tapi juga “anak kecil pahlawan kampung”. Mampu berkreasi membuat penjernih air atas bimbingan buku bacaan. Ia tidak menyombongkan diri, tetapi terus membaca dan belajar di taman bacaan. Ia sadar bahwa pengetahuan adalah kekuatan, dan ia ingin menggunakan kekuatannya itu untuk membantu orang lain.
Lila membuktikan bahwa membaca bukan hanya kegiatan yang menyenangkan, tetapi juga dapat memberikan manfaat besar bagi kehidupan, bahkan bisa menyelamatkan nyawa. Lila pun merenung, “Kenapa masih ada kawannya yang belum mau membaca buku?” Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen