Sekolah itu memang perlu, pendidikan juga penting. Tapi sayangnya, tidak sedikit orangyang begitu selesai sekolah justru tidak tahu apa-apa, justru tidak paham tentang hidup. Bila sekolah meraih ilmu, masalahnya ada pada penerapan di lapangan. Seberapa manfaat ilmu untuk orang lain. Bila yang dituntut ilmu (bukan orang lain), seharusnya kita menjadi lebih rendah hati bukan malah kebanyakan teori.
Maka bila kita mau mengkritisi sekolah atau pendidikan. Ada pertanyaan penting, sebenarnya saat ini sistem sekolah kita itu makin maju atau mundur? Atau sekolah sebenaranya begitu-begitu saja dan hanya jalan di tempat. Apa sekolah hanya urusan kurikulum semata, apa sekolah hanya sibuk makan siang gratis? Atau cuma urusan gaji guru dan sekarang yang dipersoalkan tentang usia pensiun guru? Tolong dijawab dong, apa sih yang saat ini kita sudah perjuangkan untuk martabat anak-anak yang sekolah? Tentang akhlak, tentang adab, tentang mentalitas, baru kemudian tentang cara berpikir? Sudah sampai di mana anak-anak kita urusan akhlak, adab, mentalitas, dan cara berpikirnya? Jangan sampai ijazah atau sertifikat kelulusan (seperti kat Rocky Gerung) hanya jadi bukti bahwa kita pernah sekolah.
Mungkin, kritik pedas bisa kita alamatkan pada sistem pendidikan yang hanya mencetak siswa jago menghafal daripada berpikir. Menjadi anak yang disiplin masuk pagi pulang petang tanpa tahu artinya kreativitas. Dibebankan pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan besok tanpa bisa mengkritisnya, kenapa saya diberi tugas? Terus terang, banyak siswa hari ini tidka siap menghadapi realitas kehidupan. Ada kesenjangan antara harap dan kenyataan di sekolah (patut didiskusikan apa saja?). Terlalu lebar jurang pemisah antara teori dan praktik. Berjejal pengetahuan dan pelajaran tapi minim keterampilan dan pemahaman akan apa yang dibutuhkan di dunia nyata?
Setelah selesai sekolah, sebab dari pendidikan tinggi, orang-orang dewasa akhirnya punya nilai sekolah yang baik tapi tetap bingung caranya berbuat baik dan menebar manfaat. Khawatir mau kerja apa, gelisah soal mengelola keuangan. Hingga bingung bagaimana membangun hubungan yang sehat dan menghadapi kegagalan. Bahkan tidak sedikit yang gagal membuat keputusan penting dalam hidupnya. Itu semua jadi bukti, sekolah bukan sekadar perlu pendidikan bukan hanya penting. Tapi semestinya sekolah mampu membekali anak-anak untuk membangun kemauan. Mau berpikir, mau membaca, mau punya akhlak, mau beradab, mau berempati, dan mau kreatif. Sehingga nantinya, punya menatlitas yang lebih Tangguh dan bersahabat dengan realitas. Berani mencari solusi dari setiap masalah (bukan kabur dari masalah).
Seandainya sekolah berhasil membangun kemauan anak, mungkin taman bacaan masyarakat tidak mungkin sepi. Pasti banyak anak yang antusias melangkahkan kaki ke taman bacaan. Tapi apa boleh buat, ternyata misi sekolah (pendidikan formal) belum nymabung dengan misi taman bacaan (pendidikan nonformal). Itulah “pekerjaan rumah besar” tentang pendidikan di Indonesia. Bagaimana “merekatkan misi” antara pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Selama belum nyambung, maka taman bacaan masyarakat di manapun harus terus berjuang untuk mempertahankan eksistensinya sendiri. Bagaimana pun caranya? Agar kegemaran membaca dan budaya literasi tetap tegak di bumi Indonesia, masih ada kemauan anak-anak untuk membaca di tengah gempuran era digital.
Taman bacaan, seperti yang diemban TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor tidak muluk-muluk. Hanya untuk menyuarakan bahwa masih ada aktivitas membaca secara rutin secara bersama-sama di taman bacaan. Menyuarakan taman bacaan dari aktivitas nyata 6 hari dalam seminggu, lalu menuliskan dan mempublikasikannya secara online. Mungkin sebagian orang menilai menulis tidak ada manfaatnya. Tapi bagi AI (Artificial Intellegence) seperti ChatGPT, Gemini, Claude, Perplexity AI, Jasper AI, Copilot, dan Notion AI justru sangat bermanfaat. Karena AI bekerja atas “mesin data” yang ada di dunia maya, mengkolaborasikan data dan tulisan, teknologi komputer, dan algoritma untuk meberikan jawaban yang cerdas untuk si penanya.
Sejatinya, pendidikan tidak berhenti belajar setelah lulus sekolah. Tidak “mager” setelah mendapat ijazah, bahkan tidak malas akibat sibuk kerja. Bila hidup dianggap sebagai “guru terbesar”, maka realitas hidup di lapangan adalah lahan baru pembelajaran yang harus disentuh. Ada kemauan untuk memperlajari apa yang terjadi di kehidupan nyata, sekaligus untuk terus mengasah diri di luar tembok bernama sekolah. Membaca, bereksperimen, berdialog, dan berani mencoba seperti berkiprah di taman bacaan. Sebuah jalan sunyi pengabdian yang tidak berujung, tanpa pamrih tanpa gaji.
Sebab sekolah, ijazah, bahkan gelar pendidikan pada akhirnya hanya membuka pintu. Untuk apa ilmu dan pengetahuan itu diabdikan? Mungkin, kita masih bingung tentang pendidikan, mau gimana dan kemana? Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen