Hari ini, banyak orang ikut seminar literasi. Aktivitas literasi atau terjun ke gerakan literasi. Agar tercipta budaya literasi. Sehingga terwujud masyarakat yang literat. Terbentuknya orang-orang yang literat. Lalu, siapa sih orang yang disebut literat?
Ketahuilah, seseorang dapat disebut literat. Apabila memiliki kompetensi dan kecakapan dalam hidup. Orang yang berdaya dan mamu memberdayakan keadaan atas dasar kesadaran belajar, kemampuan memahami realitas, dan mampu mentransformasikan pikiran ke dalam perilaku sehari-hari. Karena itu, orang yang disebut literat pasti memiliki 3 (tiga) ciri yang menonjol, yaitu: 1) hidupnya selalu adaptif, 2) kontibusinya selalu positif, dan 3) manfaatnya pasti solutif. Tanpa ciri-ciri itu, maka belum bisa disebut literat.
Bangsa yang literat pasti dibentuk dari masyarakat yang literat. Sedangkan masyarakat yang literat, tentu dibangun dari individu-individu yang literat. Di era digital dan revolusi industri seperti sekarang, individu yang literat pastinya memiliki focus pada 3 (tiga) diskursus literasi yang penting, yaitu: 1) kemampuan literasi dasar, 2) memiliki kompetensi, dan 3) mempunyai karakter yang berkualita.
Rinciannya begini. Literasi dasar bertumpu pada 6 (enam) kemampuan, yaitu; 1) literasi baca-tulis, 2) literasi numerasi, 3) literasi sains, 4) literasi digital, 5) literasi finansial, dan 6) literasi budaya dan kewargaan. Dengan berbekal literasi dasar itulah diharapkan seseorang mampu mencapai 4 (empat) kompetensi penting yaitu: 1) kemampuan berpikir kritis, 2) kreativitas, 3) komunikasi, dan 4) kolaborasi. Sehingga dampak besar dari budaya literasi adalah meningkatnya kualitas karakter manusia menjadi lebih: 1) religius, 2) nasionalis, 3) mandiri, 4) gotong royong, dan 5) integritas.
Bila mekanisme literasi di atas terjadi pada diri seseorang. Maka dapat disebut literat. Manusia yang literat. Jika demikian, maka bukan omong kosong peradaban suatu bangsa akan memuncak pada budaya literasi. Tanda lahirnya tatanan masyarakat yang literat. Masyarakat yang mampu memahami realitas. Literat terjadi bila tidak ada lagi hoaks, ujaran kebencian, perilaku koruptif, dan bersiasat untuk keuntungan dirinya sendiri.
Tapi sayang, tingkat literasi di Indonesia memang belum memuaskan. Bukti paling sederhana, Litbang Kemdikbud (2019) menyebut angka rata-rata Indeks Alibaca Nasional berada di angka 37,32 yang tergolong masih rendah. Apalagi di era digital, aktivitas giat membaca dan literasi kian tergerus. Karena itu, literasi tidak dapat digenjot hanya sebatas ruang seminar atau diskusi. Literasi adalah perilaku atau perbuatan. Bukan sekadar wacana. Literasi membutuhkan aksi nyata, butuh kesadaran, bahkan butuh kolaborasi. Literasi pada akhrinya harus mampu memberdayakan setiap manusia dan lingkungannya.
Literasi, tentu tidak dapat terwujud bila berjalan sendirian. Semua pihak, di manapun, bertanggung jawab atas tercipta atau tidaknya budaya literasi di masyarakat. Itulah yang disebut “literasi untuk semua”. Bukan semua untuk literasi. Karena sejatinya, tujuan besar dari literasi adalah “mengubah JENDELA menjadi PINTU”. Agar terwujud masyarakat yang memiliki pengetahuan yang luas, di samping memiliki cakrawala berpikir yang lebih baik. Lebih bermanfaat bagi orang banyak. Kulit dari literasi itu memang pahit. Namun buahnya sangatlah manis dan aromanya wangi.
Jadi siapa sih orang yang literat? Dengan tegas dapat dikatakan. Orang yang literat pastinya merujuk pada “kompetensi dan kecakapan” seseorang dalam menyeimbangkan pikiran dan perilaku. Orang yang mampu adaptasi terhadap perubahan. Dan yang terpenting, mampu memecahkan masalah atas realitas kehidupan sehari-hari. Salam literasi. #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka #KampungLiterasiSukaluyu