Mungkin akibat di rumah kelamaan. Banyak orang mencari kesibukan, Atau bahkan berlomba mempertontonkan kesibukan. Ada yang sibuk berdiskusi tanpa aksi. Ada pula yang sibuk menganggap dirinya benar terus, sementara orang lain salah melulu. Bahkan sibuk-sibuk lainnya yang katanya baik untuk diri sendiri. Tapi belum tentu baik untuk orang lain. Orang sibuk, pejuang secangkir eksistensi.
Hari ini, orang sibuk sudah jadi lambang kehormatan tersendiri. Mahkota yang selalu dikejar. Kesibukan yang dicari. Tidak masalah sibuk tidak karuan. Asal sibuk. Karena sibuk itu simbol eksistensi. Sibuk sebagai tanda bahwa manusia itu penting. Sekaligus untuk menyatakan orang lain dianggap “tidak lebih sibuk” dari dirinya. Begitulah nyatanya, orang-orang sibuk.
Orang-orang sibuk sering lupa.
Bahwa ada sibuk yang bermanfaat, ada sibuk yang tidak bermanfaat. Apalagi kesibukan hanya untuk diri sendiri. Sibuk di grup WA berceramah seperti jadi orang paling suci. Sibuk mengintip laju orang lain. Bahkan sibuk memelihara pikiran buruk tanpa diimbangi perilaku baik. Persis sibuknya para politisi jelang pilkada. Ke sana ke mari, ngomong ini ngomong itu. Tiap hari berceloteh tentang “cara bagaimana bangsa ini bisa maju”. Narasi yang using pun ada pada orang-orang sibuk.
Jangan lupa, sibuk pun bisa dibuat-buat. Atau sibuk yang dicari-cari. Hanya untuk sebuah eksistensi. Kadang demi status, demi pangkat. Atau demi membangun “sangkaan” orang lain. Bukan sibuk yang orisinal. Sibuk yang kamuflase. Agar disebut lebih baik daripada orang lain.
Orang-orang sibuk itu seringa bai.
Bahwa tidak masalah yang selesai bila sibuk diomongin. Tidak ada pula pekerjaan yang tuntas bila sibuk wara-wiri. Skripsi mahasiswa pun tidak akan selesai bila tidak dikerjakan. Seperti tidak ada tulisan yang kelar bila tidak dituliskan. Rencana sehebat apapun tidak akan terelaisasi bila sibuk hanya sebatas eksistensi. Bahkan surga sekalipun, tidak akan bisa diraih dari kesibukan yang tidak ada hubungan dengannya.
Sibuk hati dan pikiran. Tapi tidak diimbangi perilaku. Lalu bagaimana mungkin, pohon yang ditanam dapat berbuah. Bila si empunya hanya sibuk ngomongin tanpa mau menyirami atau memupuknya. Sibuk tidak karuan. Maka hati-hati, sibuk itu bisa menyesatkan, bisa pula memaslahatkan. Tinggal dipilih, mau sibuk yang seperti apa?
Berbeda dengan sibuknya pegiat literasi di taman bacaan. Seperti kesibukan di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Seminggu 3 kali melayani 160 anak pembaca aktif dari 3 desa untuk membaca. Seminggu 2 kali mengajarkan 9 ibu-ibu buta huruf. Seminggu 2 kali mengajar calistung 26 anak usia prasekolah. Sibuk menyantuni 14 anak yatim dan 8 jompo. Bahkan sibuk melayani 3 anak difabel dan 28 ibu-ibu anggota Koperasi Lentera agar terhindar dari jeratan rentenir. Taman bacaan yang super sibuk, seminggu 7 hari tiada henti dan selalu ada aktivitas literais di dalamnya. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi di masyarakat. Sibuk yang maslahat, untuk orang banyak.
Maka sibuk, bisa dipilih. Sibuk dalam kebaikan atau keburukan. Karena sibuk pun bukan segalanya. Karena sejatinya dalam hidup, ada hal yang datang dengan sendirinya. Ada pula hal yang harus diperjuangkan seperti tradisi baca di taman bacaan. Bukan sibuk yang dibuat-buat. Hingga sibuk untuk berpikir apapun yang dikerjakan orang salah. Sementara menyangka diri sendiri selalu benar. Sibuk membahas masalah tanpa ikhtiar memberikan solusi.
Orang-orang sibuk sering lupa. Sibuk itu bukan sola jadi yang terbaik dalam soal apapun. Tapi soal cara berbuat untuk lebih baik. Sibuk untuk memulai dan mengakhiri dengan baik. Agar saat sibuk dalam kebaikan. Jadi sebab kebencian dan keburukan lelah mengikutinya.
Kenapa saya sibuk di taman bacaan? Anda pasti tahu jawabannya. Salam literasi. #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka #KampungLiterasiSukaluyu