Di zaman begini, hidup dianggap kompetisi. Sehingga banyak orang hanya mengejar kemenangan. Agar dibilang sukses, disebut kaya. Keluar sebagai pemenang lalu bangga dapat mengalahkan orang lain. Orang-orang yang tidak ingin kalah. Dan memandang hidup seperti perlombaan. Maka hari ini, tidak sedikit orang yang memburu kemenangan.
Mengejar kemenangan, itulah spirit hidup di era digital. Tidak peduli orang lain kalah, tidak masalah orang lain terlukai. Asal meraih kemenangan. Lalu berhasil meraih piala atau tropi kemenangan. Dianggap berhasil, punya popularitas, dan diacungi jempol teman-temannya. Hingga lupa, arti bagaimana “bertanding dengan baik”. Merasa menang tapi gagal menyuguhi tontonan yang baik. Lupa pentingnya “bermain” dengan kualitas.
Para pemburu kemenangan sering lupa. Bahwa hidup bukan soal menang atau kalah. Menang jadi arang, kalah pun jadi abu. Lupa bahwa yang terjadi di dunia, semuanya adalah sunatullah. Sudah dipergilirkan Allah SWT. Ada kalanya mudah, ada kalanya sulit. Ada saat menang, ada saat kalah. Karena sejatinya, semua hal sudah dalam ketentuan-Nya. Jadi, sungguh tidak perlu mengejar kemenangan. Lebih baik nikmati yang ada dan teguklah secangkir kopi sambil bersyukur.
Hanya untuk ambisi mengejar kemenangan. Lalu menghalalkan segala cara. Tanpa etika, tanpa menimbang mana yang haq mana yang batil. Penuh prasangka buruk, penuh kebencian lalu sikut-sikutan. Untuk saling mengalahkan, bahkan merendahkan orang lain. Ego yang terlampiaskan untuk memburu kemenangan yang semu.
Kemenangan itu semu. Seperti kisah “Perang Bubat”. Salah satu perang saudara paling dahsyat dalam sejarah bangsa Indonesia. Perang antara Majapahit dengan Patih Gajah Mada melawan Kerajaan Pasundan. Gajah Mada pun menang, Hanyam Wuruk sangat bangga. Tapi sayang, pasca kemenangan itu, Gajah Mada malah jadi orang yang dikucilkan. Bahkan Hayam Wuruk pun patah hati karena ditinggal selamanya oleh Dyah Pitaloka, putri Sunda yang sangat dicintainya. Akibat peperangan itu, konon kerajaan Majapahit pun makin turun pamornya. Hingga akhirnya runtuh.
Maka, saat mengejar kemenangan. Tidak satupun orang makin hebat. Justru sebaliknya, makin dikucilkan dan main merana. Akibat dijauhi orang-orang yang merasa dikalahkannya. Untuk apa menang bila akhirnya melukai orang lain?
Tidak perlu mengejar kemenangan. Itulah spirit pegiat literasi dan taman bacaan di mana pun. Membangun tradiri baca dan budaya literasi bukanlah untuk meraih kemenangan. Tapi jalan untuk meningkatkan perabadan masyarakat. Agar tidak berbuat semena-mena dan berani melakukan aktivitas literasi dengan penuh tanggung jawab. Bergerak untuk literasi dengan penuh komitmen, konsisten, dan sepenuh hati. Karena sejatinya, kemenangan di taman bacaan adalah saat terjadinya kolaborasi dalam ber-literasi. Kemenangan pegiat literasi pun bersandar pada kebersamaan menjalankan program literasi.
Dan kemenangan sejati di taman bacaan adalah saat siapa pun terus bergerak untuk menebar kebaikan kepada sesama. Terus menjadikan literasi untuk semua melalui taman bacaan. Karena seorang pegiat literasi di taman bacaan, hanya butuh SIKAP dan HATI. Bukan hanya LOGIKA. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka