Ternyata, selain tidak boleh berhenti belajar, siapa pun juga harus belajar berhenti. Agar bisa berpikir jernih untuk bertindak lebih baik lagi. Sekadar menyegarkan pikiran. Agar tidak jenuh dan bosan. Sehingga mampu melihat kembali, dari mana dan mau ke mana kita berjalan? Agar sesak dalam kebaikan, bukan nyesek karena kesedihan.
Sesak bukan nyesek. Apa bedanya?
Sesak artinya terasa sempit. Tempat yang tidak lapang alias tidak longgar, kurang lega. Banyak orang menyebut sesak itu tidak leluasa. Berbeda dengan ”nyesek”, orang yang berasa sakit. Seperti pengen menangis. Hatinya sedih dan gundah-gulana melulu. Hari-harinya banyak mengeluh karena nyesek. Maka jadikan, sesak bukan nyesek.
Sesak itu positif. Bila mau menerima realitas apa pun. Dadanya lapang, ruangnya dibuat longgar. Sesak untuk berpikir jadai lebih baik. Sementara nyesek itu negatif. Sulit menerima realitas. Dadanya terlalu sempit dan sering dielus-elus. Terlalu sering membandingkan dirinya dengan orang lain. Merasa jadi “korban”. Dan akhirnya, terlalu gampang iri, dengki bahkan mengumbar kejelekan orang lain. Nyesek sekali.
Ada tempat tapi banyak orang itu sesak. Sulit untuk mencari posisi duduk. Hidupnya optimis dan pikirannya positif. Sementara “nyesek” itu sepi karena sendirian. Nyesek karena resah dan gelisah. Hidupnya pesimis dan pikirannya negatif. Maka jadikan sesak, bukan nyesek.
Seperti di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Taman bacaan yang penuh sesak, bukan nyesek. Tiap kali jam baca, tempatnya terlihat sesak. Dipenuhi anak-anak yang membaca. Tempatnya terasa kurang, apalagi di masa pandemi Covid-19 yang harus jaga jarak. Karena tempatnya terbatas. Tapi anak-anak yang membaca banyak. Makanya saat ini, dibangun “rooftop baca” di lantai 2 dari CSR Bank Sinarmas. Belum lagi program literasi lainnya seperti pemberantasan buta aksara GEBERBURA, kelas prasekolah, koperasi, yatim binaan, dan jompo binaan. Taman bacaan terasa sesak, pertanda bangkitnya tradisi baca dan budaya literasi anak-anak di daerah yang selama ini tidak punya akses bacaan. Sesak, akibat ramainya anak-anak yang membaca dan memilih buku. Sebuah pemandangan langka di era digital.
Tapi taman bacaan jadi “nyesek”. Bila ada buku-buku tapi tidak ada anak-anak yang membaca. Atau ada anak-anak tapi tidak ada bukunya. Apalagi taman bacaan yang didirikan tapi tidak diurus dengan penuh komitmen dan konsistensi. Taman bacaan yang dikelola setengah hati. Semakin nyesek, karena taman bacaannya seperti “ada tapi tiada”. Sepi dan tidak bergairah dalam membangun tradisi baca.
Maka jadikan taman bacaan sesak, bukan nyesek. Taman bacaan yang disesaki anak-anak yang membaca. Taman bacaan yang mampu menghirup masa depan, sambil mengembuskan masa lalu. Taman bacaan yang diisi pegiat literasi yang mampu bernapas dalam kemewahan buku-buku. Bukan jadi taman bacaan “nyesek”. Dadanya sempit, pikirannya terhimpit. Kian nyesek, saat mengharapkan ada “kejelasan” di tengah “ketidakjelasan”. Hingga lupa seperti buku, bahwa tidak semua hal bisa dijelaskan.
Di taman bacaan, hindari banyak berpikir tanpa berbuat. Agar anak-anak yang membaca lebih sesak. Bukan nyesek memikirkannya. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka