Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) kini dalam pembahasan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI pun menggelar berbagai forum konsultasi publik dalam rangka menerima masukan dari pemangku kepentingan sebagai bagian dari proses meaningful participation. Agar nantinya RUU P2SK mampu menjadi tonggak reformasi di sektor keuangan yang lebih baik secara regulatory maupun implementasi di lapangan, termasuk sektor jasa keuangan “Dana Pensiun”.
Setelah 30 tahun menanti, industri Dana Pensiun yang diatur dalam UU 11/1992 kini akhirnya bisa “sedikit bernafas lega” akan adanya perbaikan regulasi di level UU dan turunannya nanti. RUU P2SK ini dapat dikatakan “mencabut” UU 11/1992. Sebagai bagian pengembangan dan penguatan industri dana pensiun di Indonesia. Khususnya dalam upaya mempersiapkan program pensiun para pekerja di Indonesia. Agar lebih nyaman, lebih sejahtera di hari tua.
Sesuai dengan draft RUU P2SK khususnya klaster Dana Pensiun, Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (PDPLK) bersama anggotanya memberikan catatan khusus untuk beberapa pasal yang ada. Dipandu oleh Pak Steven Tanner, poin-poin sesi diskusi “Apa dan Bagaimana RUU P2SK Klaster Dana Pensiun” dapat dicermati sebagai berikut:
- Pasal 132 ayat 3) Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dibentuk oleh badan hukum yang memiliki ijin kegiatan sebagai: a) bank umum; b) bank umum syariah; c) perusahaan asuransi jiwa; d) perusahaan asuransi jiwa syariah; e) manajer investasi; f) manajer investasi syariah; atau g) lembaga lain yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan OJK setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Hal ini berarti, penyelenggara DPLK tidak lagi hanya bank umum dan asuransi jiwa. Maka, pelaku DPLK akan bertambah dan persaingan semakin ketat untuk merebut pangsa pasar program pensiun yang memang masih sangat besar. Spiritnya, tentu untuk memacu pertumbuhan DPLK di waktu-waktu mendatang.
- Pasal 133 ayat 5) menegaskan “Dana Pensiun tidak dapat menyelenggarakan program yang hanya memberikan manfaat lain, tanpa menyelenggarakan Program Pensiun”. Hal ini berarti, “manfaat lain” hanya bersifat tambahan/pelengkap dari Program Pensiun yang utama. Maka implikasinya, aset Program Pensiun dan aset manfaat lain wajib dicatat secara terpisah. Porsi iuran pada Program Pensiun wajib pun lebih besar dibanding iuran untuk manfaat Artinya ke depan, sebagai contoh, iuran pendanaan pesangon tidak boleh lagi “lebih besar” dari iuran Program Pensiun yang utama. Sehingga penyelenggaraan manfaat lain yang menggunakan sistem pendanaan (adanya pemupukan dana sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan pembayaran manfaat lain dimaksud) dapat diberikan fasilitas insentif perpajakan.
- Pasal 138 ayat 1) Dana Pensiun wajib menerapkan: a) prinsip tata kelola Dana Pensiun yang baik; dan b) manajemen risiko yang efektif, dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. Maka artinya, prinsip-prinsip tata kelola dan manajemen risiko harus menjadi prioritas penyelenggaraan dana pensiun.
- Pasal 139 ayat 3) Pengurus dilarang merangkap jabatan sebagai pengurus Dana Pensiun lain atau anggota direksi atau jabatan eksekutif pada badan usaha lain. Dengan begitu, istilah PLT (Pelaksana Tugas Pengurus) dapat dikatakan “tidak ada lagi”, berubah menjadi “Pengurus DPLK”. Mungkin nanti, nomenklatur-nya dapat disepakati. Dan tidak kalah penting, pengurus dan dewan pengawas yang ditunjuk harus memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai terkait bidang yang menjadi tanggung Misalnya dibuktikan dengan antara lain: latar belakang pendidikan, lamanya bekerja, dan/atau sertifikasi.
- Pasal 141 ayat 1) Usia Pensiun Normal untuk pertama kali ditetapkan paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun. Usia Pensiun Normal ini akan direviu dan ditetapkan secara berkala paling lambat setiap 3 (tiga) tahun sekali dengan mempertimbangkan angka harapan hidup dan kondisi Hal ini berarti UPN 40 tahun dalam PDP DPLK tidak boleh lagi. Maka peraturan turunan patut dikawal, khususnya bila ada perusahaan yang memang UPN-nya di bawah 55 tahun. Artinya, bisa jadi UPN itu sesuai ketentuan perusahaan atau bila peserta mandiri, tetap patokannya adalah 55 tahun.
- Pasal 153 ayat 1) Peserta yang berhenti bekerja pada Usia Pensiun Normal atau setelahnya berhak atas Manfaat Pensiun Normal dan ayat 2) Peserta yang berhenti bekerja paling cepat 5 (lima) tahun sebelum Usia Pensiun Normal berhak atas Manfaat Pensiun Artinya, Usia Pensiun Dipercepat (UPD) berubah dari yang tadinya 10 tahun menajdi 5 tahun lebih cepat dari UPN. Lalu ayat 3) Peserta yang berhenti bekerja dan memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga) tahun berhak mendapatkan manfaat paling sedikit berupa himpunan iuran peserta yang bersangkutan ditambah hasil pengembangannya. Ini berarti, Peserta yang memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga) tahun dan berhenti bekerja memiliki hak sedikitnya sebesar atas iurannya sendiri serta ditambah imbal hasil yang layak. Jadi, peserta tidak hanya berhak atas akumulasi iurannya saja, tetapi juga berhak atas hasil pengembangan dari iuran yang sudah dibayarkan. Namun penting dipahami ayat 6) Peserta yang mengikuti Program Pensiun Iuran Pasti apabila berhenti bekerja setelah memiliki masa kepesertaan paling singkat 3 (tiga) tahun namun belum berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak atas Pensiun Ditunda yang besarnya sama dengan iurannya sendiri dan iuran Pemberi Kerja beserta hasil pengembangannya. Maka, pembayaran manfaat pensiun menjadi “ditunda” hingga tercapainya Usia Pensiun Dipercepat atau Usia Pensiun Normal.
- Pasal 157 ayat 1) Dana Pensiun dilarang melakukan pembayaran Manfaat Pensiun kepada peserta yang belum mencapai usia paling rendah 5 (lima) tahun sebelum Usia Pensiun Normal kecuali untuk:
- pembayaran Manfaat Pensiun kepada Janda/Duda atau Anak;
- pembayaran Manfaat Pensiun Disabilitas; dan
- kondisi mendesak tertentu yang ditetapkan oleh
Hal ini berarti, bila ada peserta berhenti bekerja pada usia 43 (empat puluh tiga) tahun, Manfaat Pensiun bagi peserta tersebut tidak dapat dibayarkan sampai peserta tersebut mencapai usia 50 (lima puluh) tahun.
8. Pasal 158 ayat 1) Tanggung jawab pembayaran Manfaat Pensiun bagi peserta atau pihak yang berhak dapat dilakukan dengan cara dibayarkan secara berkala oleh Dana Ini berarti, DPLK punya ruang yang memungkinkan pembayaran dilakukan secara sekaligus atau “membyarkan secara berkala” secara bulanan sesuai dengan Peraturan Dana Pensiun.
9. Pasal 159 ayat 1) Manfaat Pensiun bagi peserta dan pihak yang berhak dapat dibayarkan secara sekaligus dalam hal:
-
- peserta meninggal dunia lebih cepat 5 (lima) tahun sebelum mencapai Usia Pensiun Normal;
- besarnya Manfaat Pensiun lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang ditetapkan oleh OJK;
- pembayaran Manfaat Pensiun kepada pihak yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (4); dan/atau
- kondisi tertentu yang ditetapkan oleh
Artinya, selain ketentuan di atas maka pembayaran sekaligus (lumpsum) masih berlaku sebagaimana diatur POJK yang ada.
10. Pasal 160 menjelaskan “Seorang peserta tidak dapat mengundurkan diri atau menuntut haknya dari Dana Pensiun apabila masih memenuhi syarat kepesertaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Dana ” Artinya, sangat penting edukasi DPLK kepada peserta dan kepatuhan dalam implementasinya.
11. Pasal 161 menjelaskan “Dana Pensiun wajib memisahkan dana yang dikategorikan sebagai dana tidak aktif.” Sebagai contoh, dana yang dikategorikan sebagai dana tidak aktif, yaitu Manfaat Pensiun yang sampai dengan berakhirnya jangka waktu 1 (satu) tahun belum dibayarkan oleh Dana Pensiun karena disebabkan oleh: a) Peserta tidak diketahui keberadaannya; atau, b) Peserta tidak memiliki pihak yang ditunjuk sebagai pihak yang berhak atau memiliki namun tidak diketahui keberadaannya wajib dipisahkan.
- Pasal 164 ayat 1) Aset Dana Pensiun Pemberi Kerja dilarang dikembalikan kepada Pemberi Kerja dan ayat 2) Dana Pensiun dilarang:
- meminjamkan atau mengagunkan asetnya kepada pihak manapun, kecuali yang dikategorikan sebagai pengelolaan portofolio investasi;
- menginvestasikan asetnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada surat berharga yang diterbitkan oleh, atau pada tanah dan/atau bangunan yang dimiliki atau yang dipergunakan oleh:
- pengurus, Pendiri, Mitra Pendiri, pengendali Pendiri atau bank kustodian;
- badan usaha yang lebih dari 25% (dua puluh lima persen) sahamnya dimiliki oleh orang atau badan yang terdiri dari Pendiri, Mitra Pendiri, pengendali Pendiri, pengurus, bank kustodian, atau serikat pekerja yang anggotanya adalah peserta Dana Pensiun yang bersangkutan;
- perusahaan anak; dan/atau
- pejabat eksekutif dari badan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, serta keluarganya sampai derajat kedua menurut garis lurus maupun garis ke samping, termasuk menantu dan ipar. Untuk hal ini, patut dipertanyakan implementasinya atau peraturan turunannya? Misalnya, apa iya DPLK yang didirikan Bank “dilarang” berinvestasi di surat berharga atau obligasi bank pendirinya sendiri? Seharusnya, sejauh prinsip investasi sudah sesuai regulasi dan memperhatikan tata kelola serta manajemen risiko yang efektif seharusnya tidak apa-apa. Kemudian pada ayat 3) ditegaskan pula “Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Pensiun Lembaga Keuangan dilarang mengalihkan pengelolaan aset kepada pihak ketiga.” Ketentuan ini pun harus dipertanyakan atau disikapi, apa iya DPLK tidak boleh menggunakan manajer investasi eksternal? Bila begitu, DPLK berarti “dituntut” punya keahlian mengelola aset layaknya manajer investasi. Atau karena manajer investasi berdasarkan RUU ini dapat jadi pendiri DPLK untuk menghindari konflik kepentingan? Sepatutnya tidak begitu, karena DPLK menjalankan “perintah” investasi dari peserta maka penempatan investasi melalui manajer investasi adalah cara yang saat ini lebih tepat. Agar dana DPLK peserta lebih optimal.
- Pasal 168 ayat 1) “Penyelenggaraan Dana Pensiun dapat diberikan fasilitas insentif perpajakan.” Aturan ini patut dikawal agar bisa “melahirkan” insentif perpajakan untuk peserta DPLK. Kata “dapat” itu berarti bisa, boleh, mungkin. Maka harus diidentifikasikan, kondisi seperti apa yang boleh dan mungkin. Tentu, sesuai penafsiran yang normatif berdasarkan regulasi.
14. Pasal 183 ayat 1) “Setiap Dana Pensiun wajib menjadi anggota salah satu asosiasi Dana Pensiun yang sesuai dengan ruang lingkup usahanya.” Hal ini tentu untuk meningkatkan peran asosiasi dalam mengatur para anggotanya (self regulatory) sekaligus menjadi wadah koordinasi dengan regulator karena asosiasi pun harus mendapat persetujuan tertulis dari OJK.
- Pasal 186 ayat 1) Pemerintah mengharmonisasikan seluruh program pensiun terkait yang bersifat wajib sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan percepatan akumulasi simpanan nasional jangka panjang. Artinya, setelah RUU P2SK ini pun pemerintah harus tetap mengharmonisasi peraturan yang ada dan turunannya untuk perlindungan hari tua. Poin ini harus terus disosialsiasikan agar pengembangan dana pensiun di Indonesia bisa signifikatm baik dari kepesertaaan maupun aset yang dikelola. Misalnya, iuran wajib nantinya akan secara bertahap mencapai 15% pada 2032, harus dikawal agar terealisasi apalagi dikaitkan dengan kewajiban pesangon.
Selain hal-hal di atas, tentu RUU P2SK pun mengatur hal lain yang mungkin “tergolong baru”, seperti adanya ketentuan pengelola statuter, pengelolaan aset dan liabilitas program pensiun, pengelola program pensiun sebagai profesional yang wajib memiliki kompentensi dan pengalaman memadai, pengaturan cut loss, dan pembentukan unit aktuaria di OJK dan kementerian urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Jadi ke depan, apa yang dilakukan dengan RUU P2SK ini? Tentu, pelaku DPLK mencermati naskah draft RUU P2SK dengan optimal, di samping memberi masukan yang dianggap perlu sesuai tenggat waktu yang tersedia ke pemerintah maupun DPR. Karena memang, masih perlu penjelasan dan pendalaman lebih lanjut untuk implementasi di lapangan dan upaya pengembangan industri dana pensiun ke depan.
RUU P2SK ini bila sudah di-undangkan pun bukan “solusi segalanya” tapi sebagai pemantik untuk meningkatkan potensi dan pertumbuhan industri dana pensiun yang lebih besar. Karena itu, ada agenda di belakang harus tetap dilakukan seperti: 1) edukasi kepada publik, 2) dukungan teknologi yang memadai, 3) strategi pemasaran yang lebih optimal, dan 4) koordinasi internal di masing-masing pelaku untuk “beradaptasi” dengan UU yang baru nanti.
Pasti, nantinya akan ada peraturan turunan dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintah) atau POJK (Peraturan OJK) yang lebih teknis untuk mengembangkan industri dana pensiun. Itu semua harus terus dikomunikasikan dan dikawal secara seksama.
Memang (mengutip Pak Steven Tanner), setiap perubahan tentu menimbulkan pro dan kontra. Tapi jangan habiskan waktu untuk membahas kontranya. Tapi carilah “peluang” yang ada dari setiap perubahan, sekecil apapun itu.
Jadi, tetap optimis untuk industri dana pensiun di Indonesia yang lebih baik. Karena peluang itu selalu ada. Salam #YukSiapkanPensiun #PerkumpulanDPLK #EdukasiDPLK