Soal Ketenagakerjaan, Hak Atas Kompensasi Pascakerja saat PHK?

Kompensasi pascakerja, dalam istilah PSAK 24 disebut imbalan pasca kerja merupakan imbalan yang patut dibayarkan perusahaan akibat berakhirnya masa kerja seorang pekerja, khususnya saat pensiun. Besaran kompensasi pascakerja pun ada acuannya, sesuai dengan regulasi yang berlaku. Biasanya, gaji terakhir dan masa kerja adalah indikator paling utama untuk menghitung besaran kompensasi pascakerja yang harus dibayarkan perusahaan sebagai pemberi kerja.

 

Dasar hukum kompensasi pascakerja dalah Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja. Pada  Pasal 156 ayat (1) ditegaskan bahwa “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Adapun acuan besarannya terdiri dari: a) uang pesangon (ayat 2), b) uang penghargaan masa kerja (UPMK) (ayat 3), dan c) uang penggantian hak (UPH) seperti cuti tahunan dan biaya ongkos pekerja (ayat 4). Setidaknya, ada 17 alasan terjadinya PHK, baik akibat pensiun, meninggal dunia, atau efisiensi perusahaan. Khusus regulasi ini, perusahaan atau pemberi kerja harus memahami dengan cermat, termasuk pekerja tentunya. Untuk lebih jelasnya, Silakan dibaca pula PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. PP ini mungkin juga akan disesuaikan dengan Perppu No. 2/2022, namun dalam konteks kompensasi pascakerja atau pesangon mungkin perubahannya tidak signifikan.

Sayangnya fakta menunjukkan, sekitar 93% perusahaan di Indonesia justru menerapkan skema “pay as you go – PAYG” untuk kompensasi pasca kerja. Saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), kompensasi yang diberikan kepada pekerja baru dicarikan dari arus kas perusahaan. Artinya, kompensasi yang harus dibayarka tidak didanakan sebelumnya. Sehingga berpotensi mengalami masalah atau besarannya tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku. Maka wajar, akhirnya pekerja demo atau mempermasalahkan PHK yang dilakukan. Patut diketahui, hanya 7% perusahaan yang patuh terhadap pembayaran kompensasi pescakerja atau pesangon sesuai regulasi saat terjadi PHK.

 

Maka, sudah saatnya perusahaan atau pemberi kerja di Indonesia memilih dan menggunakan skema “fully funded” untuk dana kompensasi pascakerja. Skema pendanaan yang terpisah dari arus kas perusahaan, di samping diserahkan kepada pihat ketiga untuk mengelolanya agar bisa lebih optimal. Selain memastikan tersediannya dana kompensasi pascakerja, perusahaan pun dapat meminta pihak ketiga untuk membayarkan kepada pekerja sesuai dengan regulasi ketenagakerjaan yang berlaku.

 

Setidaknya, ada 5 (lima) keuntungan program dana kompesasi pascakerja yang dipakukan perusahaan, yaitu 1) program bersifat “pooled fund” atau diadministrasikan atas nama perusahaan, 2) adanya pendaaan yang pasti untuk pembayaran kompensasi pascakerja. 3) didanakan secara terpisah sehingga tidak mengganggu cash flow perusahaan, 4) manfaat dapat dibayarkan secara sekaligus (lumpsum), dan 5) adanya fasilitas perpajakan karena dianggap sebagai biaya perusahaan. Nantinya, kompensasi pascakerja ini dapat dibayarkan kepada pekerja yang memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau di-PHK perusahaan. Saat ini, program pendanaan kompensasi pascakerja dapat dilakukan melalui Program Pensiun untuk Dana Kompensasi Pascakerja (PP-DKP) yang diselenggarakan DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Dulunya disebut PPUKP – Progran Pensiun untuk Kompensasi Pesangon. Tujuannya, untuk membantu perusahaan dalam pendanaan dan pembayaran kompensasi pascakerja pekerjanya.

 

Kompensasi pascakerja, cepat atau lambat pasti dibayarkan perusahaan. Entah akibat pensiun, meninggal dunia atau di-PHK. Nah, sesuai pasal 58 PP No. 35/2021 ayat 1) ditegaskan “Pengusaha yang mengikutsertakan Pekerja/Buruh dalam program pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun, iuran yang dibayar oleh Pengusaha dapat diperhitungkan sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban Pengusaha atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta uang pisah akibat Pemutusan Hubungan Kerja”. Artinya, perusahaan program Dana Kompensasi Pascakerja “diakui” sebagai bagian pembayaran uang pesangon (UP), uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan uang penggantian hak (UPH) sesuai regulasi. Bila dana di program DKP mencukup, perusahaan tidak perlu mengeluarkan danalagi. Namun bila dana di program DKP masih kurang, maka selisihnya yang dibayar perusahaan. Dan untuk semua itu, harus diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

 

Selain itu, iuran perusahaan yang dibayarkan untuk program pensiun dana kompensasi pascakerja pun dianggap sebagai biaya. Maka sesuai UU No. 7/2021 tetang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pasal 6 ayat 1 (c) disebutkan “Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya”. Hal ini berarti, iuran perusahaan untuk dana kompensasi pascakerja pun dapat mengurangi pajak perusahaan (PPh 25).

 

Maka ke depan, perusahaan jangan lagi melihat pekerja sebagai beban. Tapi sebagai aset yang dapat meningkatkan produktivitas dan profit perusahaan. Caranya dengan menciptakan iklim bekerja yang nyaman dan dapat memotivasi pekerja lebih giat lagi. Karena perusahaan sudah menyediakan progam dana kompensasi pascakerja untuk para pekerjanya. Bila tidak sekarang, mau kapan lagi? Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun #DanaKompensasiPascakerja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *