Belakangan banyak kasus terkait pencemaran nama baik. Kenapa nama baik dicemarkan? Itu berarti, ada media atau teks yang menjadi bukti terjadinya pencemaran nama baik. Maka pencemaran nama baik dapat dikatakan sebagai tindakan menyerang kehormatan atau mencemarkan nama baik melalui lisan atau tulisan. Bisa jadi yang dicemarkan nama baiknya terjadi perorangan, kelompok, agama, orang yang telah meninggal, dan para pejabat.
Sebagai contoh, kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Wamenkumham terhadap keponakannya yang kini dijadikan tersangka. Ada juga kasus Atau sebelumnya ada kasus Nikita Mirzani yang diilaporkan Tengku Zanzabella atas dugaan pencemaran nama baik. Ada juga seorang warganet yang dilaporkan Dewi Perssik atas dugaan pencemaran nama baik ke pihak kepolisian. Bahkan negeri ini pun pernah digaduhkan oleh kasus “hoaks” Ratna Sarumpaet, ujaran “idiot” Ahmad Dhani, atau kasus “bau ikan asin” Galih Ginanjar. Kasus-kasus itu intinya pasti tertuang pada alat bukti berupa “Bahasa”, seperti apa bahasanya dan dimana bahasa itu dipublikasikan?
Jadi hati-hati dengan pencemaran nama baik. Bentuknya bisa mencemarkan nama baik, menista, memfitnah, keterangan palsu, ujaran kebencian atau perbuatan yang dianggap tidak menyenangkan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Dalam banyak hal, kasus pencemaran nama baik memang bersifat subjektif. Akan tetapi, bila akhirnya dapat dibuktikan melalui teks atau bukti dokumen yang ada maka dapat dilaporkan sebagai pencemaran nama baik. Apalagi dalam konteks postingan atau komentar di media sosial. Sekali lagi, hati-hati dengan kasus pencemaran nama baik.
Harus dipahami semua orang. UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan KUHP, sangat tegas diatur tentang larangan perilaku berbentuk “berita bohong – pencemaran nama baik – ujaran kebencian – penghinaan – hasutan – menyerang kehormatan – penistaan – fitnah – atau mentransmisikan tanpa izin”. Semua hal yang memenuhi unsur di atas, maka dapat dijadikan delik aduan. Namun, upaya pembuktikannya akhirnya mengacu pada “teks tertulis” kasus-kasus tersebut, khususnya melalui media massa atau media sosial.
Nah, untuk menyatakan suatu teks atau postingan media sosial dikategorikan pencemaran nama baik atau ujaran kebencian maka diperlukan saksi ahli bahasa atau keterangan ahli bahasa. Saksi ahli bahasa ini diperlukan untuk mengkaji dan menganalisis suatu bahasa atau teks sebagai pertimbangan hukum, apakah memenuhi unsur pencemaran nama baik atau tidak? Dalam realitasnya, banyak kasus hukum pemcemaran nama baik atau ujaran kebencian yang sedang bergulir atau telah diputus oleh pengadilan sangat berkaitan erat dengan “soal pemaknaan secara bahasa”.
Terlepas dari proses hukum yang bergulir, menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ada 5 (lima) alat bukti yang sah dan boleh digunakan untuk membuktikan suatu kasus, yaitu: 1) keterangan saksi, 2) keterangan ahli, 3) surat, 4) petunjuk, dan 5) keterangan terdakwa. Maka dalam kasus pencemaran nama baik atau ujaran kebencian, saksi ahli bahasa menjadi diperlukan sebagai bagian pemenuhan “keterangan ahli”. Keterangan ahli (Pasal 1 angka 28 KUHAP) adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Jadi, itulah dasar keberadaan “saksi ahli bahasa”.
Sebagai orang yang mendalami ilmu bahasa Indonesia dan berdasar pengalaman menjadi “saksi ahli bahasa” pada beberapa kasus hukum, baik saat penyidikan maupun pengadilan. Maka penting bagi saya untuk menginformasikan tentang peran “saksi ahli bahasa” atau “keterangan ahli bahasa” atas kasus-kasus pencemaran nama baik, ujaran kebencian atau hoaks. Tentu, masih ada saksi ahli lainnya, seperti: saksi ahli IT, saksi ahli hukum, dan sebagainya.
Secara prinsip, saksi ahli adalah orang yang pendapatnya berdasarkan pendidikan, pelatihan, sertifikasi, keterampilan atau pengalaman dapat diterima sebagai ahli. Karena itu, hukum dapat mempertimbangkan opini khusus saksi (ilmiah, teknis atau lainnya) tentang bukti atau fakta sebelum pengadilan sesuai keahlian ahli, itulah yang disebut sebagai “keterangan ahli”. Saksi ahli juga dapat memberikan “bukti ahli” sesuai bidang keahliannya. Namun di saat yang sama, kesaksian ahli pun dapat dibantah oleh kesaksian dari para ahli lainnya atau dengan bukti atau fakta lainnya.
Nah khusus saksi ahli bahasa, siapapun orangnya, prinsip dasar yang harus dipegang adalah sikap professional dalam bersaksi. Dalam KBBI, profesional dapat diartikan 1) bersangkutan dengan profesi; 2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya: dan 3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir). Itu berarti, kriteria utama seorang profesional adalah memiliki pengetahuan seorang pakar atau ahli (expert), khususnya mengenai bidang keahliannya.
Umumnya, saksi ahli bahasa berasal dari kalangan akademisi atau praktisi yang akademisi. Kriteria saksi ahli bahasa harusnya 1) memiliki latar belakang pendidikan bidang bahasa, 2) memiliki pekerjaan pendidikan bahasa, dan 3) memiliki pengalaman di bidang kebahasaan. Atas dasar itu, keberadaan saksi ahli bahasa harus dihormati dan dihargai. Karena ahli bahasa, sebagai seorang profesional mau atau bersedia untuk menyumbangkan pemikiran keahliannya untuk kasus hukum tertentu, termasuk mengorbankan waktu dan tenaganya untuk memberikan informasi tekait bahasa agar kasus menjadi terang-benderang.
Selain itu, untuk menjadi “saksi ahli bahasa”, suka tidak suka, syarat utamanya adalah si ahli bahasa harus berpijak pada sikap ilmiah. Yaitu, sikap-sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap ilmuwan atau ahli dalam melakukan tugasnya untuk mempelajari, menganalisis, dan menolak atau menerima suatu teks bahasa. Sikap ilmiah inilah yang mendasari saksi ahli bahasa untuk memegang prinsip ilmiah yang harus 1) objektif, 2) logis, 3) sistematis, dan 4) valid-reliabel. Selain itu, seorang saksi ahli bahasa pun harus memahami benar akan “bahaya” sikap ilmiah, yang notabene bisa terjadi pada seoarang ahli atau pakar. Beberapa sikap ilmiah yang bahaya antara lain: 1) melakukan generalisasi secara gegabah, 2) membuat abstraksi intelektual ekstrem, 3) mengambil kesimpulan yang keliru, dan 4) memanipulasi data/fakta.
Bila ada kasus hukum yang akhirnya menimbulkan keributan antara terdakwa dan saksi ahli bahasa atau antara hakim dengan saksi ahli bahasa, bisa jadi hal itu disebabkan oleh pengabaian terhadap kriteria saksi ahli bahasa atau sikap ilmiah di ahli bahasa. Maka, aparat hukum maupun masyarakat harus memahami tentang keberadaan saksi ahli bahasa. Sebagai contoh, keterangan ahli yang saya berikan saat diminta menjadi saksi ahli bahasa pada suatu kasus pencemaran nama baik. Saat ada pemberitaan online detiknews.com pada tanggal 28 Januari 2019 dengan judul “Prabowo Siap Terima Dukungan Keturunan PKI, PKPI: Mereka Panik? Deliknya, apakah kalimat tersebut mengandung unsur perbuatan provokatif atau unsur yang berpotensi adanya perbuatan menghasut?
Adapun analisis yang saya lakukan adalah sebagai berikut:
- Struktur kalimat inti: Mereka Panik (S-P), secara makna: Mereka = kata ganti orang bersifat jamak/tidak ada rujukan spesifik – Panik berarti “bingung; gugup”. Jadi, kata “mereka” tidak ada rujukan orang tertentu yang dituju karena bersifat jamak.
- Potensi menghasut ada pada kata “panik” (membangkitkan orang supaya marah), tapi karena subjek (mereka) bersifat jamak, maka tidak spesifik yang dimaksud siapa?
- Dari segi tindak tutur: kalimat terebut bersifat “ekpresif” (tanggapan atas konteks sebelumnya) bukan “deklaratif” (menciptakan keadaan baru).
- Maka simpulannya: tidak ada makna menghasut, di samping rujukan subjek bersifat jamak bukan tunggal.
Patut dipahami, seorang saksi ahli bahasa biasanya memberikan keterangan atau pendapat di bidang keahlian bahasa sebagai bagian proses “pembuktian” terhadap teks tertulis untuk dinyatakan mengandung perbuatan melawan hukum atau tidak. Saksi ahli bahasa pun bertindak atas tanggung jawab profesional. Karena itu, siapapun atau masyarakat harus berhati-hati dalam bertutur atau memberi komentar dalam aktivitas berbahasa sehari-hari khususnya di media sosial. Karena bila salah, bukan tidak mungkin dapat dijadikan delik aduan yang dianggap melanggar hukum, seperti: pencemaran nama baik, penghinaan, berita bohong atau hoaks apalagi fitnah. Jangan sampai karena persoalan ketidak-tahuan atau emosi sesaat menjadikan “kata-kata dan kalimat” dalam berbahasa berujung ke laporan polisi atau kasus hukum.
Sejatinya, saksi ahli bahasa dalam melihat suatu kasus pencemaran nama baik, ujaran kebencian atau hoaks biasanya bertumpu pada analisis gramatika, semantik, dan struktur bahasa yang tersaji pada teks yang dipersoalkan. Bila teks-nya memenuhi kriteria kebahasaaan yang melawan hukum maka jadilah kasus hukum. Namun bila tidak memenuhi kriteria kebahasaan yang melawan hukum maka akan gugur dengan sendirinya secara analisis bahasa. Jadi, hati-hati dengan bahasa dan teks yang disajikan di mana pun. Gunakanlah bahasa tetap apa adanya, bukan ada apanya. Agar tidak jadi masalah hukum di kemudian hari. #PencemaranNamaBaik #SaksiAhliBahasa #PegiatLiterasi