Sabaran Saat Lebaran?

Banyak cerita di balik silaturahim lebaran di kampung-kampung. Berbagai macam kisahnya. Tapi sebagian besar, membahas ujian dan cobaan seputar lebaran. Ada yang bekerja tapi tidak diberikan THR oleh tempatnya bekerja. Ada yang dilanda kesedihan karena tidak mampu membelikan pakaian baru untuk anak-anaknya. Bahkan ada yang menjalani lebaran apa adanya saja. Akibat tidak berdaya secara ekonomi. “Nggak bisa ngapa-ngapain  di lebaran Pak, karena nggak punya uang” begitu katanya.

 

Prihatin memang terhadap sebagian saudara-saudara kira di kampung-kampung. Lebaran hanya sebuah tradisi yang tetap harus dihormati. Sekalipun dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan. Jangan membelikan pakaian anak atau kue lebaran, mungkin kompor pun hanya dipakai untuk memasak nasi. Tanpa ada opor ayam, sayur papaya atau daging semur. Entah, apa realitas seperti ini di momen lebaran merata di kampung-kampung lain? Patut disurvei dan dicari tahu sih.

 

Ujian dan cobaan manusia, di mana pun, memang silih berganti. Tanpa mengenal waktu, tanpa peduli lebaran atau tidak lebaran. Selalu ada jalan terjal kehidupan yang harus dialami sebagian saudara-saudara kita. Utamanya di kampung-kampung yang masih dalam belenggu kemisikinan. Kantong-kantong masyarakat berkategori prasejahtera. Ketidak-berdayaan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, bahkan sulitnya lapangan pekerjaan. Masih menjadi momok yang dihadapi masyarakat kecil. Maka wajar, angka putus sekolah masih tinggi dan pernikahan dini pun terus terjadi. Tentu tidak bisa diceritakan semuanya. Intinya, ujian dan cobaan masih ada dan selalu melanda orang-orang kecil di kampung.

 

Maka di balik cerita silaturahim lebaran di kampung-kampung, pada akhirnya berpusat pada sikap sabar. Sabar dalam menghadapi ujain dan cobaan hidup. Sabar dalam menghadapi masalah yang mendera, apapun bentuknya. Seperti sabarnya Nabi Ayub yang dilanda kemiskinan dan penyakit yang sangat berat selama berpuluh-puluh tahun. Sabar saat berlebaran, sabar di jalan, sabar di kala lapar, bahkan sabar pula saat meraih kesenangan. Karena sejatinya, sabar menjadi perisai kehidupan. Sabar saat mematuhi perintah dan larangan Allah SWT. Sabar saat menerima cobaan dan musibah. Bahkan sabar di kala senang.

 

Innallaha ma ashobirin. Bahwa Allah SWT pasti bersama orang-orang yang sabar. Dalam kondisi apapun. Untuk menerima keadaan lapang dada, tanpa menyesali nasib dan takdirnya. Sambil tetap memelihara sikap optimis. Karena sabar akan berujung kebaikan dan kemaslahatan. Asal ikhlas menerima, bukan malah berkeluh-kesah ke sana ke mari tanpa arti.

 

Sabar menjadi landasan hidup. Karena di dalamnya ada sikap lapang dada untuk menerima apapaun yang terjadi. Selalu berpikir positif dan optimis kepada Allah SWT. Hingga akhirnya, yakin bahwa semua ujian dan cobaan hidup pasti akan mampu dilewati, Setiap masalah tidak akan pernah tertukar, sudah pas dan sesuai dengan manusianya. Karena Allah SWT tidak akan pernah menguji seseorang di luar batas kemampuannya. Selain penting untuk memitigasi masalah dan cobaan seperti apa, sabar menjadi cerminan sikap tawakal, Hati yang berserah dan berharap hanya kepada Allah SWT.

 

Sabar, tentu bukan sekadar kata-kata. Namun menerima tanpa mempersoalkan takdir. Tetap tersenyum dan ikhtiar untuk mencari solusi. Tiap kesulitan bukan untuk ditangisi. Tapi untuk dihadapi dengan penuh sikap sabar. Hingga yakin, pada waktunya akan mampu dilewati. Selagi Allah SWT memberikan badan yang sehat, hati yang lapang, dan pikiran yang waras. Insya Allah, semuanya akan berakhir indah.

 

Sabar, sabar, dan sabar dalam segala keadaan. Saat lebaran atau sesudahnya nanti. Karena sejatinya, doa setiap hamba sedang diproses Allah SWT. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melihat hasil dari ikhtiar yag dilakukan dan doa yang dilantunkan.

 

Jadi, kenapa lebaran tidak sabaran? Maka bersabarlah. Salam literasi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *