Menunduk, bisa saja punya makna yang berbeda. Di Indonesia, menunduk sering diartikan seperti kekalahan terhadap pihak lawan. Sedangkan di Jepang, menunduk selalu dilakukan seseorang saat berbicara dengan orang lain, Begitu pula, geleng-geleng kepala dan mengangguk-angguk, barang kali tidak selalu sama pemahamannya. Antara orang Indonesia dengan orang India. Gerakannya sama tapi artinya bisa berbeda.
Tapi senyum yang tulus, selalu punya makna yang sama antara satu negeri dengan negeri lainnya. Bahkan di seluruh dunia, senyum punya arti yang sama, sebuah ekspresi wajah yang menunjukkan kebahagiaan. Simbol rasa senang adalah senyum. Senyum itu sedekah. Bahkan tersenyum dianggap cara paling murah dalam membangun suatu hubungan. Senyum bisa jadi “obat” paling mujarab untuk orang-orang yang marah, benci atau iri.
Sudah terbukti kok, senyum tidak hanya dapat menyenangkan orang lain. Tapi mampu berkontribusi untuk kesehatan jiwa seseorang. Senyum dan tertawa itu bermanfaat bagi kesehatan fisik, untuk jantung dan kekebalan tubuh. Lebih dari itu, senyum pun akan memengaruhi kondisi mental seseorang. Membuat mood jadi lebih baik, lebih bergairah.
Maka tersenyumlah di mana pun, dalam kondisi apapun. Karena senyum itu menyehatkan. Senyum saat senang dapat menjaga kewaspadaan. Senyum saat duka dapat meneguhkan kesabaran. Senyum saat berjuang dapat bikin indah pengorbanan. Senyum pada kekasih dapat menyuburkan cinta. Senyum pada musuh dapat mengundang rasa hormat. Senyum pada pendengki dapat menjejalkan sesal. Senyum pada si ramah dapat menjalinkan ketulusan. Senyumlah pada si pemarah dapat menuangkan kesejukan. Senyum pada si gelisah dapat mengalirkan kenyamanan. Senyum pada si miskin dapat melipur lara. Senyum pada si kaya dapat melembutkan hati. Senyum pada pengintimidasi dapat mengacuhkan, dan senyum pada si aniaya pun dapat jadi cahaya untuk gelap hatinya. Jadi, apa alasannya untuk tidak tersenyum?
Senyum saja dalam segala keadaan. Senyum saja di mana pun. Karena akhlak jelita seseorang pada saat senyum mengembang pada dirinya, di kala mereka sedang berbincang (Habib ibn Abi Tsabit).
Senyum siapapun, tidak bisa dilepaskan dari kata syukur. Senyum yang ikhlas dari hati adalah cara terbaik untuk bersyukur. Memang senyum terlihat sangat mudah dan sederhana. Tapi tidak semua orang bisa memberikan senyuman yang tulus. Apalagi mereka yang kotor hatinya, negatif pikirannya pasti sulit untuk tersenyum. Karena mereka belum rela menerima realitas hidupnya sendiri. Tidak lapang dada dalam menerma kenyataan. Merasa frustrasi, tidak suka melihat orang lain berhasil sehingga sempit hatinya. Orang yang belum kelar dengan dirinya sendiri.
Lalu, kenapa banyak orang belum bisa tersenyum?
Mungkin karean masih kotor hatinya, penuh prasangka pikirannya. Maka di momen lebaran, latihlah untuk mudah tersenyum. Senyum yang tulus atas alasan apapun. Sambil berdoa, “Ya Allah, mampukan kami tersenyum karena-Mu”. Salam literasi!