Budaya Membaca di Daerah Kian Merosot, Siapa Tanggung Jawab?

Indonesia, dalam berbagai survei, dituding memiliki budaya membaca yang rendah. Itu artinya, masyarakat Indonesia dianggap tidak punya budaya membaca. Berarti pula, tingkat literasi-nya pun tergolong rendah. Maka wajar, minat membaca orang Indonesia pun dianggap rendah pula. Bila sudah begitu, kita lupa bahwa minat membaca atau budaya membaca itu sangat tergantung pada “ketersediaan akses untuk membaca”.

 

Apalagi di zaman begini, rendahnya budaya membaca mungkin ada benarnya. Karena anak-anak dan orang dewasa lebih mahir mengutak-atik gawai daripada buku. Lebih senang main gawai daripada membaca buku. Berpuluh-puluh tahun hanya mengurusi “hilir” daripada “hulu”. Akibatnya, salah pakai gawai untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Salah memaknai tontonan TV, bukan untuk pelajaran justru inspirasi berbuat jahat. Media sosial dipakai untuk pamer atau curcol, bukan untuk inspirasi atau kebaikan. Dan membaca buku akhirnya kian ditinggalkan. Begitulah faktanya sekarang di Indonesia.

 

Apa sih konsekuensi budaya membaca yang rendah? Bila membaca adalah “hulu, maka dampak “hilirnya” adalah kualitas SDM rendah, daya saing anjlok, indeks pembangunan SDM tidak memadai, inovasi masyarakat rendah, indeks kebahagiaan turun, indeks kemanfaatan tidak ada, dan akhirnya memengaruhi pendapatan perkapita yang rendah. Tingkat kesejahteraan dan ekonomi pun tidak memadai. Di situlah pentingnya membenahi “hulu” budaya membaca daripada mengurus “hilir” digitalisasi, media sosial, atau teknologi canggih sekalipun.

 

Jadi, siapa yang bertanggung jawab dalam pembudayaa kegemaran membaca khususnya di daerah-daerah? Sebenarnya, regulasi pembudayaan kegemaran membaca sudah jelas. Tinggal diimplementasikan dengan baik dan efektif. Harus mau intospeksi diri dan memperbaiki cara serta kepedulian terhadap pembudayaan kegemaran membaca atau gerakan literasi. Karena di UU No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan sudah diatur dengan tegas pada Bab XIII Pembudayaan Kegemaran Membaca. Mari kita pahami dan tafsirkan soal pembudayaan kegemaran membaca di Indonesia.

 

Pasal 48 ayat 1)  menyebut “Pembudayaan kegemaran membaca dilakukan melalui keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat, 2) Pembudayaan kegemaran membaca pada keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah melalui buku murah dan berkualitas, 3) Pembudayaan kegemaran membaca pada satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengembangkan dan memanfaatkan perpustakaan sebagai proses pembelajaran, 4) Pembudayaan kegemaran membaca pada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyediaan sarana perpustakaan di tempat-tempat umum yang mudah dijangkau, murah, dan bermutu. Pasal ini dengan tegas menyebut pembudayaan kegemaran membaca ada di level keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat seperti taman bacaan. Untuk itu, pemerintan dan pemerintah daerah harus memfasilitasi, apapun bentuknya. Apalagi banyak satuan pendidikan tidak memiliki perpustakaan yang memadai, maka solusinya keterlibatan masyarakat seperti taman bacaan harus dioptimalkan. Sayangnya, pemerintah atau pemerintah daerah “tidak peduli” akan soal budaya membaca yang dijalankan masyarakat. Inilah yang harus dibenahi dan diimplementasikan secara konkret.

 

Pasal 49 mengaskan bahwa “Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mendorong tumbuhnya taman bacaan masyarakat dan rumah baca untuk menunjang pembudayaan kegemaran membaca”. Pasal ini menyebut pentingnya mendorong tumbuhnya taman bacaan masyarakat (TBM) di daerah-daerah. Tapi sayangnya, banyak pemerintah daerah yang “tutup mata” soal keberadaan taman bacaan di daerahnya. Tidak ada sinergi untuk “memperbaiki” taman bacaan di daerahnya. Akhirnya, tidak seidkit taman bacaan yang “hidup segan mati tak mau”. Soal ini penting untuk diformulasikan kembali, mau seperti apa dan bagaimana relasi pemerintah daerah dan taman bacaan di daerahnya?

 

Pasal 50 menegaskan Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong pembudayaan kegemaran membaca sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dengan menyediakan bahan bacaan bermutu, murah, dan terjangkau serta menyediakan sarana dan prasarana perpustakaan yang mudah diakses. Pasal ini pemerintah dan pemerintah tinggal “introspeksi diri” saja, apa yang sudah diperbuat untuk kegemaran membaca di daerahnya? Bila sudah bagus syukur, bila belum ada terus mau sampai kapan?

 

Pasal 51  menyebut ayat 1) Pembudayaan kegemaran membaca dilakukan melalui gerakan nasional gemar membaca, 2) Gerakan nasional gemar membaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan seluruh masyarakat, 3) Satuan pendidikan membina pembudayaan kegemaran membaca peserta didik dengan memanfaatkan perpustakaan, 4) Perpustakaan wajib mendukung dan memasyarakatkan gerakan nasional gemar membaca melalui penyediaan karya tulis, karya cetak, dan karya rekam, 5) Untuk mewujudkan pembudayaan kegemaran membaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perpustakaan bekerja sama dengan pemangku kepentingan, 6) Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berhasil melakukan gerakan pembudayaan gemar membaca, 7) Ketentuan mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal ini panjang banget, cuma menyimpan segudang “pekerjaan rumah” untuk pemerintah dan pemerintah daerah. Seperti apa sih program dan aksi yang dilakukan untuk “gerakan nasional gemar membaca”? Sudah dilakukan apa belum dan kapan? Bagaimana rekam jejak-nya dan apa pula apresiasi yang dilakukan pemerintah daerah ke masyararakat? Apa cukup cuma seremoni “duta baca”?

 

Pesan pentingnya, soal pembudayaan kegemaran membaca sudah jelas aturannya di negara ini. Teorinya sudah baku, hanya praktik di lapangannya yang bermasalah. Budaya itu berarti ada sikap dan perialku untuk membaca di masyarakat. Jadi semua elemen harusnya terlibat dan bertumpu pada aksi nyata bukan hanya niat baik semata. Tidak akan pernah ada minat baca masyarakat yang baik dan tumbuh tanpa ketersediaan akses bacaan di daerah, tanpa perhatian dan kepedulian pemerintah daerah. Kolaborasi harus ada, sinergi harus berani dan semua itu ada konsekuensinya. Sayang sekali, budaya kegemaran membaca saat ini hanya sebatas seremoni, rencana kerja tanpa aksi nyata di lapangan.

Jujur saja, tidak ada teori paling benar dalam membangun budaya membaca di mana pun. Yang ada hanya kemauan dan keberanian untuk berkiprah nyata di masyarakat untuk membangun kegemaran membaca dan gerakan literasi dengan penuh komitmen dan konsisten. Harus ada kolaborasi dan sinergi. Jangan mencetak orang-orang instan di kegemaran membaca tanpa proses yang baik dan bertanggung jawab.

 

Ketahuilah, kegemaran membaca dan gerakan literasi yang konkret tidak akan pernah selesai bila dikerjakan melalui seremoni, diskusi bahkan seminar sekalipun. Karena masyarakat di daerah hanya butuh aksi nyata dan praktik baik yang dikerjakan sepenuh hati, bukan setengah hati.

 

Maka dalam hal apapun. Jangan pernah membaca sampai koma, tetapi bacalah sampai titik. Agar tuntas dan selesai, bila perlu hingga kelar dengan diri sendiri karena membaca. Karena suatu saat nanti, membaca akan berujung pada “perlawanan yang baik” dan  menuliskannya akan menciptakan perubahan yang bermanfaat. Salam literasi. #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *