Mas Menteri Dikbudristek RI, Nadiem Makarim tiba-tiba menggelontorkan ide “rekrutmen guru via marketplace mulai tahun 2024”. Sontak, rencana Mas Menteri ini mengundang pro kontra. Bahakan tidak sedikit guru-guru honorer atau PPPK yang khawatir, bila tidak mau dikatakan bingung. Tentang, apa dan bagaimana rekrutmen guru lewat marketplace? Tanya yang menacancap di benak kepala banyak orang, kian bingung. Mau dibawa ke mana pendidikan Indonesia ke depan?
Sebagai praktisi pendidikan, saya sih merespon sederhana. Tidak pesimis dan tidak pula optimis soal rekrutmen guru via marketplace. Tidak pesimis, karena selama ini rekrutmen guru memang dilakukan melalui mekanisme terpusat. Sehingga masalah komptenesi dan kinerja guru jadi gambling atau bias. Bak “membeli kucing dalam karung”. Bahkan tidak sedikit guru yang sudah direkrut tidak sesuai dengan kualifikasi dan kebutuhan dari sekolah. Rekrutmen guru via marketplace bisa jadi terobosan baru yang bisa mengobati “sakit tidak kopeten” di dunia pendidikan.
Tapi saya juga tidak optimis soal rekrutmen guru via marketplace. Bila “mind set” atau cara pandang yang digunakan Mas Menteri “memaksakan” konsep teknologi seperti marketplace yang pernah digawanginya. Sebut saja, jangan sampai marketplace rekrutmen guru diperlakukan seperi “gojek”. Karena di gojek kan siapapun bisa jadi driver asal punya SIM. Jadi, harus jelas mekanisme menyeleksi guru yang layak dan pantas ada di marketplace rekrutmen guru. Maka, saya sih tidak pesimis tidak optimis tentang marketplace rekrutmen guru. Karena belum jelas akan seperti apa wujud dan acuannya?
Mungkin, satu hal yang patut saya apresiasi bila nantinya proper dan memadai. Marketplace rekrutmen guru, setidaknya akan menjadi inovasi dunia pendidikan dalam membangun stasiun “talent pool”. Sebagai terobosan untuk mengidentifikasi calon guru atau guru yang memiliki kapabilitas memadai bagi pendidikan di era digital. Khususnya menjadi “data base” rekam jejak calon guru akan pentingnya dua elemen kunci pendidikan, yaitu aspek kompetensi dan aspek kinerja guru. Bukan hanya latar belakang pendidikan. Karena harus diakui, bangsa Indonesia hingga kini belum memiliki “talent pool” keguruan yang memadai. Dan saya kira, inilah problematika dunia penddiikan dan keguruan yang tidak kunjung terselesaikan.
Saya kira dan seperti yang diketahui bersama, dunia pendidikan di Indonesia bukan tanpa masalah. Ada banyak masalah yang menghantui wajah pendidikan Indonesia. Salah satunya, masalah kompetensi, karakter, dan rekam jejak guru yang tidak memadai. Hingga terjadi kasus-kasus keerasan fisik dan pelecehan seksual yang jadi berita viral. Maka pantas untuk tidak pesimis terhadap marketplace guru bila mampu menjadi solusi terhadap masalah dunia pendidikan seperti: 1) rekrutmen guru yang tepat sasaran dan sesuai kebutuhan sekolah, 2) percepatan pemenuhan kebutuhan guru yang tidak lagi “miss match”, 3) mendesentralisasi rekrutmen guru PPPK yang selama ini terpusat, dan 4) adanya talent pool terkait rekam jejak guru dari aspek kompetensi dan kinerja. Sehingga akhirnya, marketplace rekrutmen guru benar-benar dapat meningkatkan dan menjamin kualitas guru yang akan mengajar di sekolah.
Saya pun tidak mau buru-buru optimis terhadap rencana marketplace rekrutmen guru karen guru dan dunia pendidikan bukan hanya soal teknis cara mendapatkan guru. Tapi lebih kepada substansi guru menyangkut kompetensi dan kualitas guru itu sendiri. Maka tidak perlu optimis terhadap marketplace rekrutmen guru bila 1) guru diperlakukan seperti barang dan jasa untuk “dijual beli” melalui aplikasi, 2) tidak mampu menciptakan pemerataan guru di berbagai daerah yang sesuai kebutuhan dan kompetensi seperti d wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), 3) justru marketplace menjadi ruang terbuka guru untuk pindah sana-pindah sini dengan gampang, dan 4) malah gagal mempercepat kebutuhan guru yang selama ini terlalu birokratis dan memakan waktu lama. Jadi, akan seperti apa dan bagaimana platform atau aplikasi rekrutmen guru mampu menjadi solusi dunia pendidikan di Indonesia?
Kita harus sepakat, bahwa masalah guru di Indonesia adalah sial kompetensi dan kinerja yang belum memadai. Bukan soal lewat marketplace atau tidak marketplace. Pendidikan harus dicermati dari sisi esensi, bukan seremoni. Salam literasi!