Saat menyeruput kopi pagi di Jl. Malioboro, selalu ada akal sehat. Untuk menyebut hidup itu tidak harus mahal. Bahagia itu bukan menurut orang lain. Tapi semuanya, terletak pada akal sehat diri sendiri. Selain identik dengan Jogja, Malioboro dikenal sebagai kawasan yang selalu ramai dikunjungi oleh para wisatawan.
Saat ngopi pagi di pinggir jalan Malioboro, saya pun diusik oleh akal sehat. Akan pentingnya menjaga “kewarasan” dalam hidup. Karena hanya akal sehat yang bisa memilah mana sikap objektif dan subjektif. Akal sehat pula yang bisa membuat seseorang mau fokus pada hal-hal yang bermanfaat atau tidak bermanfaat?
Akal sehat, bukan hanya bisa memperluas pengetahuan dan cara berpikir. Tapi akal sehat pun mampu menuntun pemiliknya untuk fokus pada apapun yang dianggap “penting” dan “genting”. Bila tidak penting dan tidak genting, maka cukup abaikan saja. Kita boleh sama sebagai manusia. Tapi akal sehat-lah yang membedakan kita. Persis seperti orang membaca buku di taman bacaan, akan terlihat akal sehatnya.
Akal sehat selalu menegaskan. Bahwa hidup kita yang jalanin. Tapi orang lain yang komentarin. Kita yang cari makan sendiri, bekerja keras sendiri. Tapi orang lain yang ngomongin seolah-olah sudah memberi makan banyak orang. Merasa paling benar sendiri dan mengurusi hidup orang lain. Itulah musuh akal sehat.
Banyak orang lupa. Akal sehat itu selalu mengajak pada jalan kebaikan. Pikiran dan hati yang sehat. Untuk mampu mengelola tiap masalah. Sekaligus fokus pada jalan keluar. Bukan hanya bisa “mempermasalahkan” tanpa bisa mencari solusi. Hanya orang-orang yang tidak sehat, selalu fokus pada masalah dan kerjanya mengurusi orang lain. Lupa pada dirinya sendiri.
Siapapun, boleh punya ilmu punya informasim tapi sepanjang tidak melibatkan akal sehat maka jadi sesat. Anda boleh punya uang banyak tapi sama sekali tidak bisa membeli akal sehat. Siapapun boleh banyak omong tapi hanyabl akal sehat yang bisa memilah omongan itu berfaedah atau tidak. Jadi, apapun silakan dikerjakan. Tapi jangan lupa libatkan akal sehat.
Sehat, rezeki, cinta, karakter, etika, dan bahagia itu terletak pada akal sehat. Bukan pada omongan atau anggapan. Karena akal sehat yang bisa melihat segala sesuatu apa adanya. Lalu, melakukan apapun sebagaimana mestinya. Bila akal sehat sudah terlibat, maka apapun jadi objektif, baik, dan tanpa keluh-kesah. Akal sehat yang bikin semuanya realistis, bukan impian.
Hari begini, penting hidup dengan akal sehat. Bukan hidup dalam omongan, asumsi apalagi intimidasi. Seperti saat nongkrong di Malioboro, siapapun selalu dituntun untuk bersyukur atas apa yang ada. Sambil fokus mengubah sesuatu yang sederhana dan lugu menjadi lebih semangat dan bergairah. Seperti tukang becak, tukang kopi, bahkan panganan khas Malioboro. Sederhana dan terkesan lugu tapi mampu menggairahkan penikmatnya.
Jadi, cukup jaga dan libatkan akal sehat di mana pun. Hingga kapanpun. Karena tidak ada masalah yang tidak mampu diselesaikan oleh akal sehat. Asal tetap berpegang pada Allah SWT. Semuanya jadi mudah dan berkah, percayalah.
Akal sehat, selalu tegas. Bahwa gelapnya malam tidak akan pernah mampu “melawan” terangnya matahari. Selalu ada harapan baik ke depan. Selagi akal sehat bertebaran di pagi hari. Salam akal sehat. Saat Berliterasi, selalu ada akal sehat. #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi