Mungkin, tidak banyak orang yang menggeluti dunia literasi dan budaya sebagai jalan hidup. Entah pemikiran atau eksekusinya. Dan Nirwan Ahmad Arsuka adalah nama yang sedikit itu. Sosok yang saya kenal di tahun 2018 hanya melalui media sosial, saat berkiprah di gerakan literasi dan taman bacaan. Om Nirwan, begitu saya menyebutnya, sangat keterlaluan konsisten memperjuangkan pemikiran akan pentingnya akses bacaan untuk anak-anak Indonesia. Setiap anak harus punya akses bacaan. Jangan persoalkan minat baca tanpa mau sediakan akses bacaan.
Jujur saja, saya belum mengenal banyak tentang Om Nirwan. Selain sebagai penulis esai kebudayaan yang bernas dan inisiator Pustaka Bergerak Indonesia – PBI (Home – pustakabergerak.id – pustakabergerak.id). Hingga suatu hari, pada 26 April 2023, Om Nirwan beranjang sana ke TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Untuk urusan menengok langsung hibah “motor pustaka” yang diinisiasi PBI, Dirjen Kebudayaan, Dana Indonesiana, dan LPDP. Memang sebelumnya, kami di TBM Lentera Pustaka sudah punya program “MOtor BAca KEliling – MOBAKE. Jadi, saya makin semangat setelah mendapat hibah motor pustaka dari PBI. Untuk mengantar buku-buku bacaan ke kampung-kampung kecil di sekitar kaki Gunung Salak.
Soalnya bukan di hibah motor pustaka dari PBI. Tapi justru soal obrolan asyik bersama Om Nirwan. Setelah menyantap nasi padang, saya bersama 6 relawan pun terlibat diskusi tentang gimana seharusnya gerakan literasi dijalankan. Hampir 3 jam ngobrol di kebun baca, lalu pindah ke rooftop baca, hingga berujung di ruang baca utama TBM Lentera Pustaka. Saat itu, Om Nirwan berkata, ”Terima kasih ya teman-teman, sudah mau membantu gerakan literasi. Ini kerja bersama kita untuk anak-anak Indonesia. Ayo semangat ajak anak-anak membaca”.
Ada kesan kuat untuk Om Nirwan Ahmad Arsuka di mata 6 relawan saya di TBM Lentera Pustaka kala itu. Katanya, Om Nirwan itu humble, sederhana, dan sangat memotivasi. Saking asyiknya ngobrol dalam rileks dan penuh canda tawa, tidak terasa rona senaj di Gunung Salak pun menguak. Relawan pun menghidangkan mie instan spesial untuk Om Nirwan. Apa kata Om Nirwan? Terima kasih mie-nya enak sekali, padahal saya yang juga ikut makan merasakan tidak enak. Dan relawan pun makin terkesima dimotivasi Om Nirwan. Apalagi saat relawan dihadiahi buku pidato kebudayaan Om Nirwan berjudul “Percakapan dengan Semesta” sambil foto bareng.
Hampir 180 menit, saya mendampingi Om Nirwan Ahmad Arsuka di TBM Lentera Pustaka. Beliau sangat mendukung aktivitas literasi yang kami jalankan. Tidak banyak diskusi soal operasional “motor pustaka” yang dihibahkan PBI. Kami lebih banyak diskusi tentang gerakan literasi dan gimana PBI bisa berkiprah lebih luas dan berdampak lebih signifikan. Ohh ya, saat itu, beliau juga bertanya tentang adakah orang bisa membantu PBI untuk pembuatan laporan penggunaan dana hibah dari Dana Indonesiana, dengan spek memahami soal keuangan.
Terlepas dari cerita semua itu, dan saat Om Nirwan pamit untuk kembali ke Jakarta menggunakan kereta dari Stasiun Bogor. Saya pun berfoto sambil berpelukan di jalan. Dan kini, setelah Om Nirwan berpulang ke rahmatullah. Saya selalu bergidik memandang foto bersamanya. Seakan tidak percaya. Bahawa Om Nirwan telah pergi meninggalkan saya, kita, dan teman-teman seperjuangan. Innalillahi wa inna Ilahi rojiun, selamat jalan Om Nirwan. Anda orang baik dan Insya Allah mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.
Malam ini, setelah melihat pemakaman Om Nirwan di facebook PBI. Saya sedikit mengenang beliau, merenungkan obrolan-obrolan bersama Om Nirwan saat berkunjung ke TBM Lentera Pustaka. Hingga saya memberanikan diri menuliskan pas di hari pemakaman beliau, tentang “Meluruskan Logika bersama Nirwan Ahmad Arsuka”. Pelajaran terakhir dari Om Nirwan. Bahwa logika yang lurus pasti lahir dari hati yang jernih. Logika sederhana dalam berliterasi tapi berkelas semesta, bahwa:
Satu, jangan lagi persoalkan minat baca rendah sebelum kita sediakan akses bacaan. Mana ada minat baca tanpa ketersediaan bahan bacaan di kampung-kampung?
Dua, semangat egaliter atau kesetaraan harus menjadi spirit besar di gerakan literasi. Karena literasi adalah milik semua, tidak ada kasta dalam berliterasi.
Tiga, literasi sebagai kerja bersama untuk membangkitkan gerakan kewargaan, menjadi ujung tombak pemberdayaan masyarakat dan budaya. Maka kolaborasi menjadi kata kunci dalam literasi.
Sayang seribu sayang, Om Nirwan tidak sempat membaca tulisan ini. Nirwan Ahmad Arsuka telah pergi untuk kita semua. Hanya cerita baik yang bisa disematkan untuknya. Selamat jalan Om Nirwan, sungguh perjuangan dan pelurusan logika darimu akan selalu menjadi spirit untuk diteruskan. Seperti kata-kata puisi “Kunang-kunang” yang pernah kau hamparkan.
kita pernah berbagi
cakar aspal dan taring Mentari
para saudara yang berangkat dini
mungkin memang masuk pelukan bumi
tapi kerja yang sudah ditumpahkan
telah menjelma kunang-kunang
dan rajutan bianglala yang minta diteruskan
Terima kasih Om Nirwan, telah meluruskan logika kami. Damailah di keabadian. Salam bergerak!