Aku hanya seorang lelaki tua. Ingin bercengkrama dengan cucu keduaku, Aleena Talia Saqeenarava. Untuk kali pertama, bertatapan mata dalam bahasa batin. Antara seorang kakek dan cucunya. Aleena, memang masih mungil. Wajahnya mungkin separuh telapak tanganku. Tungkai kakinya baru seukuran tiga jari. Bahkan panjang tubuhnya belum lagi melebihi panjang dari lenganku. Tapi sejuta doa dan harapan aku panjatkan untuk cucuku Aleena. Semoga kelak menjadi anak yang solihah, dan berguna bagi agama bangsa masyarakat.
Hari ini Aleena sesekali ngulet dan kakinya diangkat. Mulutnya komat-kamit bak menyapaku. Sedikit mengangat kelopak mata, lalu memandangku seakan hatinya berkata, “Kakek, aku mau digendong dong”. Aku pun menjawab dalam hati, “Iya Nak, Insya Allah kakek akan gendong kamu nanti”. Dalam sekejap, Aleena pun tertidur lagi. Sambil menikmati hangatnya inkubator di dalam kamarnya.
Aku pun membuka Quran digital di handphone. Untuk membacakan ayat-ayat suci Al Quran sambil berdoa untuk Aleena Talia Saqeenarava, yang baru terlahir ke muka bumi di usia 40 hari. “Allâhummaj’alhu bârran taqiyyan rasyîdan wa-anbit-hu fil islâmi nabâtan hasanan.” Ya Allah, jadikanlah ia (bayi) orang yang baik, bertakwa, dan cerdas. Tumbuhkanlah ia dalam Islam dengan pertumbuhan yang baik, amiin.
Aleena, sepuluh hari lalu, baru saja kehilangan kakak kembarnya Elena. Tapi dari raut wajahnya, ia tidak banyak menangis. Kalaupun menangis tidak pernah melengking riuh. Hanya tangisan manja, merengek-rengek menggemaskan dalam balutan kain bedongan. Si gadis mungil berzodiak Leo ini, semakin tampak dari wajahnya. Sebagai sosok yang punya mental baja, dapat diandalkan, jujur, dan sangat gampang membantu orang lain. Dalam dirinya , mengalir kepribadian yang mudah berteman dan percaya diri. Sangat wajar Aleena memiliki pikiran yang kreatif dan gemar mengekspresikan diri.
Semakin siang, sinar matahari semakin menyengat. Aleena masih menatap dari kejauhan. Hingga menembus kaca jendela di kamarnya. Seakan ingin memandang langit biru dan mengelus angin cahaya siang. Ia tetap sehat dan terus bertumbuh. Pipinya mulai terlihat chubby. Saat Ibunya, Firda menantuku, menyuapi susu si gadis mungil Aleena kian menggemaskan. Pipinya bulat, alis matanya mulai lebat. Jarinya yang masih lentik bergerak, lagi-lagi seolah-olah ingin berkata, “Kek, jangan tinggal aku ya” ujar batin Aleena.
Aku pun tertegun. “Iya Aleena, kakek akan ada di samping kamu. Kemana kamu mau, kakek akan menemani sayang” batinku melirih. Seperti Bill Clinton yang terlahir di 19 Agustus, Aleena memancarkan sosok yang mandiri, penuh semangat, dan tekun. Pantang menyerah dan dia tahu cara untuk memotivasi diri sendiri dan orang lain.
Untuk seorang cucu seperti Aleena, tidak ada yang lebih indah dari derai tawanya. Tidak ada yang lebih lucu dari tingkahnya. Bahkan tidak ada yang lebih bahagia selain tangis laparnya seorang bayi. Aku kini menunggu waktu untuk menggendongnya. Di setiap momen, ingin mengabadikan gerak kaki dan tangis cucu perempuanku. Aleena, sesekali aku foto untuk dipamerkan pada media sosialku. Lalu kutulisi, inilah permaisuriku.
Tiba-tiba Aleena pun bergerak. Mengeluarkan suara-suara bayi yang khas. Aihhh, aku sungguh menyukai bayi mungilku Aleena. Sambil tersenyum syukur dan bangga menyandang status ‘kakek’ untuknya. Aleena yang kian mengusik pikiranku. Bayi yang intuitif dan relijius. Kelak, dia akan menjadi anak yang bertakwa dan cerdas. Tentu, dengan caranya sendiri.
Entah, aku semakin jatuh cinta pada Aleena. Memandangi puluhan kspresi wajahnya. Menyimak baik-baik suara yang dikeluarkannya. Sungguh menyenangkan. Sudah terbayangkan kelak, aku akan menjadi saksi tumbuh kembang Aleena dari dekat. Memeluk dan merasakan kulit lembutnya. Aku memang ingin merawatnya. Tapi sebaik-baiknya anak, tentu lebih baik dirawat bersama kedua orangtuanya. Seperti dulu aku merawat dan mendidik anak-anakku.
Tidak berselang lama, azan Ashar pun terdenagr. Aku dan anak laki-laki pertamaku Fahmi, ayahnya Aleena bergegas menuju musholla yang hanya beberapa meter dari rumahnya. Seperti sholat berjamaah, sambil melantunkan doa untuk Aleena. Takbir “Allahu Akbar” mengawali ritual doaku. Lalu menyebut asma-Nya. Memuji kebesaran-Nya dan meminta kebaikan baik di dunia dan akhirat untuk anak-anakku dan cucuku Aleena. Aku pun tersungkur dalam doa dan zikir. Helaian sajadah panjang, yang selalu mengingatkan pentingnya sholat dan doa.
Aku, lelaki tua yang kini menjadi kakek Aleena. Selalu bersyukur dan begitu mencintai cucu untuk menyemangati dan menggandengnya hingga masa depan. Aleena yang berpesan kepada seorang kakek. Untuk menggunakan telinga yang benar-benar mendengarkan, lengan yang selalu memegang. Dan cinta yang tidak boleh berakhir. Aleena, cucu yang membuatku tertegun. Untuk selalu bertanya, dari mana dan mau kemana aku? @Love you, Aleena Talia Saqeenarava