Siang itu, kepala kampung bersama seluruh warga berkumpul. Musyawarah membahas jembatan yang runtuh akibat diterpa banjir bandang. Tanpa jembatan, warga tidak bisa menjalankan aktivitas mereka. Setelah disepakati, jembatan akan diperbaiki. Biaya ditanggung bersama seluruh warga. Setiap kepala keluarga wajib menyumbang seratus ribu rupiah untuk membangun kembali jembatan yang runtuh.
Malam harinya, sang kepala kampung berkeliling membagikan sebuah amplop kosong untuk masing-masing kepala keluarga. Agar esok pagi, amplop-amplop itu dikembalikan ke rumahnya. Dan tentu saja, sudah berisi uang seratus ribu rupiah di dalamnya. Sesuai komitmen musyawarah semalam.
Tidak disangka sama sekali, seorang warga berpikir picik, “Kalau aku tidak mengisi uang ke dalam amplop ini, toh tidak akan ada yang tahu. Sebab semua amplop tidak diberi nama. Lagi pula satu amplop kosong tidak akan mempengaruhi sumbangan yang didapat. Jembatan pasti tetap dibangun dari sumbangan warga yang lainnya” pikirnya.
Lalu esok paginya, seluruh warga berduyun-duyun mengumpulkan amplop sumbangannya. Sang kepala kampung mulai membuka amplop satu persatu. Betapa mengejutkan. Sang kepala kampung pun geleng-geleng kepala. Karena seluruh amplop dalam keadaan kosong! Rupanya semua kepala keluarga memiliki pikiran yang sama dengan apa yang dipikirkan warga yang picik. Itulah akhir dari kisah jembatan yang tidak pernah dibangun kembali. Hingga kini, jembatan itu hanya angan-angan semata. Rencana mulia yang “gugur” akibat pikiran picik.
Tahukah Anda di mana kampung tersebut berada?
Ternyata, kampung itu berada di dalam diri kita masing-masing. Ada di pikiran dan batin manusia. Saat sudah berencana, ada hal penting yang harus kita perbaiki. Agar mampu mengubah hidup menjadi lebih berarti. Maka diputuskan untuk memperbaiki diri sendiri, sesuai rencana agar menjadi lebih baik.
Tapi sayang, pada harinya tiba, kita mulai berpikir picik. Merasa satu hari kosong tidak apa-apa. Karena masih banyak hari yang lain. Kemarin berdiam diri, hari ini bermalas-malasan, dan besok pun malas bergerak. Seluruh hari diisi dalam keadaan kosong! Kampung kosong, jiwa yang kosong. Berpikir picik, segala sesuatu dilalaikan dan dipandang negatif. Siapapun saat berpikir picik, maka di situlah akhir dari kisah runtuhnya cita-cita yang tidak akan pernah dibangun.
Seperti aktivitas literasi di taman bacaan. Selalu saja ada orang-orang yang berpikir picik. Bukan hanya bersikap tidak peduli tapi memandang negatif apa yang dijalankan di taman bacaan. Boro-boro membantu dan menyuruh anaknya membaca, justru kerjanya bergosip bahkan menebar fitnah. Lupa, bahwa taman bacaan tempat perbuatan baik. Ladang amal semua orang. Tapi karena pikiran picik, maka orang-orang itu hanya bisa berpikir negatif doang.
Hati-hati dengan pikiran picik. Karena orang picik, biasanya hanya bisa membicarakan orang. Tapi gagal berdiskusi gagasan besar yang berdampak positif untuk banyak orang. Orang-orang picik itu kerdil pikirannya. Hanya bisa melihat apapun dari sisi negatif, maka apa yang keluar dari mulutnya cuma omong kosong.
Jadilah pemenang untuk diri sendiri, buang pikiran picik dan negatif. Mulailah bergerak untuk berani berbuat baik dan menebar manfaat di mana pun. Agar hari-hari kita tidak kosong dan bukan omong kosong. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka