Ada yang berkomentar saat debat cawapres kemarin. Bahwa salah satu kandidat dianggap menjalankan “komunikasi menyerang” kepada rivalnya. Sehingga etika komunikasi jadi diabaikan. Entah yang dimaksud “menyerang”, dari siapa ke siapa dalam debat itu? Terserah, penilaian masing-masing penonton saja. Tapi menarik bagi saya, membahas tentang komunikasi menyerang.
Menyerang itu berarti menyerbu atau mengecam. Pertanyaannya, kenapa diserang, mengapa mengecam? Bisa jadi, ada indikasi salah atau ketidak-sesuaian antara omongan dengan perbuatan. Sekalipun belum tentu benar, secara subjektif, komunikasi menyerang jadi bukti orientasi komunikasi hanya bersifat “menang-kalah”. Ingin menjatuhkan lawan bicara. Apa harus begitu dalam berkomunikasi? Komunikasi menyerang, sering disebut komunikasi agresif yang nioatnya iongin mengontrol orang lain. Komunikasi yang terlalu ofensif. Kesannya, komunikasi dilakukan untuk mencari kesalahan orang lain. Atau setidaknya ingin dianggap lebih menang dari lawan bicaranya.
.
Ada yang menyebut, saat berdebat boleh melakukan apa saja. Menyerang, agresif, mengauk buruknya orang lain, bahkan gimik yang sifatnya mengolok-olok. Taoi di sisi lain, ada pula yang menyarankan jangan berdebat bila akhirnya hanya menciptakan musuh-musuh baru. Mak semuanya, bertumpu pada pola komunikasi yang menyerang, komunikasi agresif. Ketika seseorang menggunakan intimidasi dan kontrol terhadap orang lain dalam berkomunikasi. Gaya bicaranya keras dan menuntut. Kontak matanya intens untuk mengendalikan lawan bicara sambil menyalahkan atau menyerang. Komunikasi menyerang memang ofensif, tapi gagal dalam mendengarkan orang lain. Maka wajar, siapapun yang menerapkan komunikasi yang menyerang cenderung mendapat sentiment negatif, kurang dihormati dan motifnya mengalahkan lawan bicara orang lain. Akibat gaya komunikasinya kurang berempati terhadap orang lain. Dan memang, komunikator agresif sering di beberapa momen justru mendapat dukungan dari orang-orang sekitarnya. Jadi, begitulah komunitasi yang menyerang.
Antitesis dari komunikasi menyerang adalah komunikasi asertif. Perilaku komunikasi yang melibatkan etika dalam komunikasi. Menyampaikan pikiran dan pendapat secara tegas dengan jujur, apa adanya, tapi tanpa melanggar hak lawan bicaranya. Disebut asertif karena mampu menciptakan peluang untuk diskusi terbuka dengan berbagai pendapat namun tetap memiliki rasa hormat. Gaya komunikasi tanpa ingin mengalahkan (bukan pula mengalah) namun memahami kesetaraan yang beretika. Maka wajar, siapapun yang menerapkan komunikasi asertif cenderung respek kepada lawan bicara, ada pengendalian diri, dan apresiasi positif terhadap harga diri lawan bicara. Sebuat saja, komunikasi yang berempati bukan menyerang. Cara komunikasi yang lebih efektif dan berdampak positif.
Terbukti contohnya, komunikasi asertif yang diterapkan di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Sebuah cara komunikasi untuk menyampaikan apa yang diinginkan pengelola taman bacaan namun tetap menghargai hak-hak serta perasaan orang lain. Komunikasi yang sengaja dilakukan untuk membangun giat membaca dan budaya literasi di masyarakat. Komunikasi yang berbasis rasa empati, cinta damai, dan memberi solusi, Komunikasi yang ketika memiliki perasaan negatif pun tetap harus mengontrol diri sendiri, tidak menyinggung perasaan lawan bicara. Sehingga dampaknya, kini TBM Lentera Pustaka tetap bertahan dan mampu menjalankan program literasi seperti TABA (Taman Bacaan) dengan 100 anak usia sekolah, GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) dengan 9 warga belajar, KEPRA (Kelas PRAsekolah) dengan 40 anak usia prasekolah, YABI (YAtim BInaan) dengan 14 anak yatim yang disantuni dan 4 diantaranya dibeasiswai, JOMBI (JOMpo BInaan) dengan 12 jompo usia lanjut, TBM Ramah Difabel dengan 2 anak difabel, Koperasi SImpan Pinjam dengan 28 kaum ibu agar terhindar dari jeratan rentenir dan utang berbunga tinggi, DonBuk (Donasi Buku), RABU (RAjin menaBUng), dan MOBAKE (MOtor BAca KEliling). Bahkan tidak kurang 200 orang setiap minggunya menjadi pengguna layanan TBM Lentera Pustaka yang didukung oleh 12 wali baca dan relawan sebagai bukti menerapkan gaya komunikasi yang lebih asertif daripada agresif.
Gaya komunikasi itu penting, sepenting konten yang mau disampaikan. Maka debat capres-cawapres atau momen di manapun, ada baiknya lebih didominasi gaya komunikasi asertif daripada agresif. Bukan komunikasi yang menyerang, karena menyerang adalah strategi yang dipilih dalam permusuhan. Karena menyerang maka musuh akan muncul. Gaya komunikasi menyerang justru akan merugikan orang yang melakukannya. Makin menimbulkan konflik, polarisasi yang tidak etis, bahkan membangun keresahan dan pertikaian. Gimik, mimik, gestur tubuh, dan kata-katanya digunakan hanya untuk meremehkan orang lain. Sangat tidak cocok untuk edukasi publik. Lebih baik memilih gaya komunikasi yang asertif, yang lebih punya empati. Karena prinsipnya, apapun gaya komunikasi dan karakter yang disajikan pasti akan kembali kepada yang melakukannya. Baik ya baik buruk ya buruk, begitulah substansi komunikasi.
Bila kita sepakat, tidak ada lawan abadi tidao pula ada kawan abadi. Maka gaya komunikasi merangkul lebih baik daripada menyerang. Komunikasi yang lebih bijaksana karena beradu pendapat tanpa membuat musuh baru. Apalagi kepada orang yang memang tidak pantas dimusuhi. Jadilah literat! Salam literasi #BacaBukanMaen #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
.