Terlepas dari pengusutuan yang dilakukan pihak Kepolisian, faktanya acara perpisahan SMK Lingga Kencana Depok merenggut nyawa 11 orang. Akibat kecelakaan salah satu bus yang digunakan di daerah Ciater Subang. Dunia pendidikan patut berduka, bila akhirnya acara perpisahan sekolah justru menjadi “duka abadi” bagi para orang tua siswa yang meninggal dunia.
Melalui tulisan ini, saya mengimbau Kemdikbud RI atau Dinas Pendidikan provinsi atau kabupaten/kota sebaiknya mempertimbangkan kembali kebijakan terkait acara perpusahaan – study tour atau wisuda sekolah yang sifatnya “pergi ke luar kota”. Sungguh, terlalu besar risiko yang bisa terjadi dari acara perpisahan sekolah model seperti itu. Apa sih tujuan acara perpisahan sekolah? Setidaknya, ada 5 (lima) pertimbangan untuk menyetop acara perpisahan sekolah yang sifatnya “pergi ke luar kota”, yaitu:
- Panitia atau pihak sekolah sering kali lalai soal kelayakan bus yang digunakan untuk acara perpisahan, dengan alasan “mencari yang sesuai budget” sehingga mengancam keselamatan siswa atau peserta acara perpisahan sekolah.
- Perpisahaan sekolah ke luar kota sering kali membuat orang tua khawatir dan was-was akan keselamatan anak-anaknya karena soal yang kerap diabaikan, seperti kelayakan bus, kualitas makana, atau keselamatan siswa di lokasi atau objek wisata yang dikunjungi.
- Bila tujuan acara perpisahan sekolah ke objek wisata, sudah bukan saatnya lagi untuk dikunjungi. Siswa bisa kok mempelajari objek wisata tersebut melalui internet atau menyerahkannya kepada orang tua.
- Biaya acara perpisahan sekolah sering kali “memberatkan” orang tua, sehingga orang tua jadi serba salah atau terpaksa. Dipaksakan tapi tidak ada uangnya atau utang ke sana-ke sini. Bila tidak dipaksakan, merasa kasihan pada anaknya.
- Tata kelola acara perpisahaan sekolah sering kali hanya memikirkan “saya dapat apa?” dari acara itu, bukan keselamatan siswa. pihak sekolah harus sadar akan hal ini, silakan dievaluasi?
Jadi, stop saja acara perpisahan sekolah yang sifatnya “pergi ke luar kota”. Lebih baik acara perpisahan dilakukan di sekolah, dengan menghadirkan orang tua dan siswa bisa unjuk kreasi atas kemampuan atau keterampilan yang dimilikinya. Apalagi di level SMA/SMK, kelulusan sekolah bukanlah akhir. Justru menjadi awal dimulainya kompetisi untuk mendapatkan “kampus negeri” yang terhormat, yang tidak mudah untuk meraihnya. Belum lagi, Uang Kuliah Tunggal (UKT) berbagai kampus saat ini “naik signifikan”. Lebib baik uang perpisahan sekolah ditabung untuk biaya masuk kuliah anak.
Acara perpisahan sekolah, study tour bahkan wisuda TK, SD, SMP, dan SMA/SMK kini jadi fenomena yang sulit dibantah di dunia pendidikan. Maka semua aktivitas perpisahaan, study tour atau wisuda sekolah yang sifatnya “pergi ke luar kota” patut ditinjau kembali. Setidaknya, harus ada “standar prosedur” yang ketat bila mau dijalankan oleh pihak sekolah. Menurut saya, sudah bukan zamannya perpisahan sekolah dilakukan dengan “pergi ke luar kota”. Terlalu risiko tinggi dan berpotensi mengabaik keselamatan siswa dan guru. Untuk apa acara perpisahan sekolah akhirnya merenggut nyawa siswa seperti yang terjadi pada siswa SMK Lingga Kencana Depok?
Selain memberatkan orang tua, acara perpisahan sekolah ke luar kota pun tidak mendidik sama sekali. Justru sebaliknya, mengajarkan siswa untuk bergaya hidup hedonis, apalagi di era media sosial seperti sekarang. Perpisahan sekolah cuma jadi konten media sosial semua pesertanya. Bahkan tidak sedikit sekolah yang dalihnya “keterbatasan dana” akhirnya menghalalkan segala cara agar perpisahan sekolah tetap bisa terlaksana.
Di tengah gempuran era digital dan gaya hidup modern, harusnya sekolah menjadi institusi penting untuk membentuk karakter dan kepribadian siswa yang kokoh dan peduli. Bukan justru ikut-ikutan tren dan fenomena masyarakat. Maka suka tidak suka, sekolah sebaiknya kembali kepada “khittah” sebagai lembaga yang mendidik kepribadian siswa dan membangun kecerdasan intelektual siswa, bukan yang lainnya. Sudah terlalu peristiwa tragis di balik acara perpisahan sekolah di negeri ini. Belum lagi “cerita miring” orang tua yang galau atau was-was saat sekolah menggelar acara perpisahan ke luar kota. Faktanya, acara perpisahan sekolah ke luar kota tidak menjadikan siswa lebih baik.
Lebih baik di-stop acara perpisahan sekolah ke luar kota. Bila tidak, tinjau ulang tata kelolanya lebih baik dan lebih ketak demi keselamatan siswa dan guru. Apalagi hanya hura-hura pergi ke objek wisata. Ubah acara perpisahan sekolah yang lebih edukatif dan membangun kepekaan sosial, seperti menanam pohon, bakti sosial, membantu korban bencana atau aksi bersih lingkungan yang jelas-jelas mendidik karakter siswa. Carilah bentuk acara perpisahan sekolah yang lebih esensi, daripada seremoni semata.
Colby dan Damon (1992) dalam bukunya “Kehidupan Kontemporer dengan Komitmen Moral” menegaskan komitmen terhadap nilai untuk menginspirasi orang lain terkadang semakin berbahaya jika berlangsung secara terus menerus dan konsisten, sehingga menjadi budaya. Kini sekolah-sekolah tampaknya, berlomba-lomba untuk tampil lebih hebat dan lebih baik daripada sekolah lainnya, dengan menjadikan perpisahan dan study tour sebagai ajang kemewahan dan eksistensi diri. Begitulah realitas yang terjadi di acara perpisahan sekolah-sekolah saat ini.
Maka, stop acara perpisahan sekolah. Jangan ada lagi masyarakat “dikejutkan” dengan kejadian seperti kecelakaan bus acara perpisahan SM Lingga Kencana Depok. Untuk apa acara perpisahan justru menjadi ajang untuk berpisah selama-lamanya, antara anak dan orang tuanya? Salam literasi #TBMLenteraPustaka #KopiLentera #TamanBacaan