Secangkir “kopi lentera” itu seperti drama.
Karena sebagian orang bilang, lebih suka kopi itu pahit. Tapi sebagian lagi ingin kopi manis. Beda-beda bak drama kehidupan, kadang pahit kadang manis. Pada secangkir kopi, ada pahit ada manis. Itulah pilihan, bukan anugerah. Karena mau pahit atau manis, terserah paa penikmatnya.
Hebatnya, secangkir “kopi lentera”. Sama sekali tidak paksaan. Sepeti gula sudi ada di cangkir. Kopi pun rela ada di cangkir. Seberapa besafr komposisinya, terserah. Diaduk boleh. Bahkan dilepeh setelah diteguk pun silakan. Maka jadilah kopi yang dramatis. Lagi-lagi, pahit manis itu relative. Tapi pada secangkir kopi, selalu ada kenikmatan dari setiap adukannya. Biar melegakan, lagi menggairahkan.
Lalu, seorang anak muda bertanya. Apa bedanya kopi dengan cinta?
Begini anak muda. Kopi itu menghangatkan tapi tidak memabukkan. Sementara cinta, belum tentu hangat tapi memabukkan, Maka di luar sana, tidak sedikit yang memvonis. Bahwa cinta itu kebohongan. Cinta itu omong kosong. Tentu bisa iya bisa tidak, Seperti drama secangkir kopi, terserah kepada penikmatnya.
Nah, ini kopi lain. Namanya kopi lentera.
Secangkir kopi yang diaduk dengan alat yang disebut hati. Bukan akal semata. Maka saat diteguk, rasanya berada di tengah pahit dan manis. Tapi selalu bersedia untuk memberi kehangatan. Karena ditemani buku-buku, anak-anak yang membaca. Bahkan kaum buta aksara. Secangkir kopi lentera, cukup untuk mengantar penikmatnya. Menjenguk masa depan, bukan berpaling ke masa lalu.
Apalagi di tengah pandemi Covid-19. Mereka yang stress WFH, terlalu bersamayam di rumah. Gelisah pikiran, takut bepergian. Hingga kesalehan ritual, tidak dibaarengi kesalehan sosial. Termenung, tertegun dan entah mau apa lagi?
Bila itu terjadi, maka secangkir kopi lentera-lah obatnya. Iya, kopi lentera di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak. Salam literasi #KopiLentera #TamanBacaan #KopinyaPegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka