Saat ditanya, bagaimana mempertahankan anak-anak tetap mau membaca di taman bacaan? Maka saya menjawab, taman bacaan harus tetap berproses apapun kondisinya. Sedikit atau banyak anak-anak yang membaca itu relatif. Apalagi taman bacaan yang ada di tengah masyarakat yang selama ini tidak ada akses bacaan, maka minatnya pun tidak ada. Belum lagi soal, kultur masyarakat yang tingkat pendidikannnya rendah pasti sangat berat membangun tradisi baca anak-anaknya.
Seperti yang dialami Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak. Saat berdiri 5 tahun lalu, jumlah anak yang bergabung dan mau membaca hanya 14 anak. Itu pun harus “dibimbing” agar konsisten membaca di taman bacaan. Tapi kini, sekitar 130-an anak pembaca aktif usia sekolah ada di TBM Lentera Pustaka. Ada anak-anak KElas PRAsekolah (KEPRA) 26 anak, 2 anak difabel, dan 9 ibu warga belajar GErakan BERantas BUta aksaRA (GEBRERBURA). Jadi intinya, taman bacaan di mana pun memang harus tetap berproses, apapun kondisinya.
Taman bacaan yang berproses, maka dengan sendirinya akan mampu memperbanyak anak-anak yang membaca buku. Untuk memperbanyak anak yang membaca buku hanya membutuhkan 3 (tiga) syarat:
1) Komitmen yang kuat untuk mengajaka anak-anak membaca
2) Konsistensi yang berkelanjutan dalam berkiprah di taman bacaan, dan
3) Taman bacaan diurus sepenuh hati oleh pengelolanya.
Selain itu, taman bacaan pun harus terus mempublikasikan akativitas literasi yang dijalankannya melalui media sosial. Di samping melakukan sosialisasi ke masyarakat sekitar, ke kampung-kampung.
Sejatinya, berjuang di taman bacaan agar tetap eksis. Hanya ada dua pilihan; 1) menyerah pada keadaan hingga “mati suri” atau 2) terus berproses untuk “menghidupkan” giat membaca. Berjuang di taman bacaan memang tidak mudah. Harus tahan banting dan kreatif menghadapi realitas. Bila tidak, maka taman bacaan akan “mati suri”. Atau seperti ada tapi tiada. Maka, taman bacaan memang harus fokus pada visi misinya, bukan pada omongan orang.
Kini di TBM Lentera Pustaka, rata-rata per anak mampu membaca 3-8 buku per Minggu. Smeinggu 3 kali mereka datang membaca di taman bacaan. Koleksi buku yang dulunya hanya 600 buku pun kini berkembang menjadi lebih dari 10.000 buku. Dan menariknya, 95% buku-buku itu berasal dari donasi.Seluruh aktivitas TBM Lentera Pustaka dibimbing oleh 5 wali baca dan 15 relawan. Tentu, atas arahan Pendiri TBM Lentera Pustaka.
Dari mana biaya operasional taman bacaan?
Alhamdulillah, TBM Lentera Pustaka Seluruh biaya operasionalnya untuk satu tahun diperolejh dari CSR korporasi. Tahun 2022 ini, TBM Lentera Pustaka disponsori CSR oleh 1) Bank Sinarmas, 2) Pertalife Insurance, 3) Pacific Life Insurance, dan 4) Asosiasi DPLK. Biaya operasional mencakup: event bulanan, honor wali baca, listrik dan wifi. serta program literasi lainnya. Tiap bulannya di TBM Lentera Pustaka selalu ada organisasi atau komunitas yang datng untuk berkegiatan CSR, bakti sosial, KKN, dan penyuluhan. Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang meneliti di TBM Lentera Pustaka. Semua itu dilakukan TBM Lentera Pustaka sebagai realisasi “kolaborasi” dengan pihak lain. Karena taman bacaan sulit bisa eksis dan bertahan tanpa kolaborasi dan kemitraan dengan pihak lain. Saat ini pun, TBM Lentera Pustaka sering diminta jadi narasumber gerakan literasi atau taman bacaan media massa atau TV. Seperti NET TV, CNN TV/TransTV, DAAI TV, JPM TV, TV Parlemen, Kompas.com. Republika, Merdeka, Liputan6, BogorKita.com dan lainnya.
Jadi, pegiat literasi dan taman bacaan di manapun. Tidak usah gundah bila anak-anak yang membaca masih sedikit. Tapi teruslah berproses dan tunjukkan aktivitas taman bacaan selalu ada dan rutin. Hingga suatu saat, masyarakat akan tahu dan paham pentingnya membaca buku bagi anak-anaknya.
Memang, taman bacaan masih jadi ‘jalan sunyi” pengabdian. Tapi percayalah, hasil tidak akan pernha mengkhianati proses. Taman bacaan dan literasi itu proses bukan hasil. Seperti membaca buku pun praktik bukan teori. Tetaplah berproses di taman bacaan. Salam literasi #BacaBukanMaen #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka