Era digital identik dengan banyak gaya. Persis seperti orang-orang di media sosial. Makin banyak gaya makin bergengsi. Tanpa gaya, hidup seakan kurang berharga. Begitu kira-kira mottonya. Lagi-lagi banyak gaya.
Saking gayanya. Sekalipun di masa prihatin akibat pandemic Covid-19. Baju dinas anggota DPRD saja pengen yang bermerek terkenal. Belum lagi Gubernur dan Wakil Gubernur yang beli mobil dinas hingga Rp. 2,8 miliar. Belum lagi artis yang protes PPKM dengan aksi berbikin di jalan raya. Ditambah lagi prank hibah Rp. 2 triliun. Netizen +62 pun geram sekaligus sambil komentarin apa saja. Segala lupa dibahas, segala peristiwa dikupas. Semua berakar dari “banyak gaya”. Apalagi polah atau tingkah laku sosok yang tidak suka, pasti jadi sorotan. Penuh prasangka pun bagian dari gaya.
Kita sering lupa. Makin banyak gaya itu makin banyak tekanan. Mungkin memang sudah zamannya. Banyak orang berlomba tingkatkan gaya hidup. Agar tampak lebih bergaya. Segala sesuatua diukur hanya dari harga. Hingga lupa hidup sederhana. Susah untuk jadi apa adanya. Biarpun hutang ada di mana-mana. Semua karena banyak gaya.
Banyak gaya memang bikin banyak tekanan.
Gaya hidup kegedean, perilaku di luar kemampuan. Terjebak hedonisme, nafsu konsumtif, hingga pengen hidup bergaya. Pantas kata orang jalanan, “lebih besar pasak daripada tiang”. Lebih banyak gaya daripada daya upaya. Lebih besar pengeluaran daripada pendapatan. Makin benar, banyak gaya banyak tekanan. Tekanan ini, tekanan itu. Tekanan cicilan, tekanan utang, bahkan tertekan gaya hidup.
Manusia banyak gaya. Tidak suka melihat orang sederhana. Karena dianggap tidak level, tidak sepadan. Pergaulan dipilih, tempat tongkrongan memilih. Beda sama si Mark Zuckerberg yang punya Facebook. Padahal kaya banget. Tapi hidupnya biasa saja. Bajunya cuma kaos oblong. Mobil dan gaya hidupnya pun sederhana. Karena si Zuckerberg tidak banyak gaya.
Bila terjebak urusan gaya. Ada benarnya kata orang tua. Rezeki Allah SWT sebesar apapaun tidak akan pernah cukup untuk gaya hidup. Tapi rezeki sekecil apapun pasti cukup untuk hidup. Kenapa bisa? Karena kebanyakan gaya dan over kapasitas. Hingga lupa bersyukur, lupa hidup sederhana.
Hati-hati saat banyak gaya. Karena makin banyak gaya makin banyak tekanan.
Hiduplah sesuai kemampuan, jangan sesuai kemauan. Hidup janga terlalu banyak omongan tapi minim tindakan. Karena gaya, siapa pun jadi butuh sanjungan dan tepuk tangan. Padahal jarang baca di taman bacaan. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #GerakanLiterasi