Berliterasi di TBM, Banyak atau Sedikit Pembaca Itu Relatif Asal Konsisten

Saat ditanya, berapa sebaiknya jumlah anak-anak yang membaca di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) secara rutin? Maka jawabnya, relatif. Jumlah pembaca atau pengikut TBM itu berlangsung secara alamiah. Tidak bisa direkayasa, apalagi TBM ramai bila ada event semata. Jumlah pembaca di TBM pasti bertambah bila TBM dikelola secara kreatif dan konsisten dari waktu ke waktu.

 

Saya selalu menyebut, ada 3 (tiga) elemen penting di TBM. Yaitu 1) ada anak-anak, 2) ada buku-buku, dan 3) ada komitmen dalam mengelola TBM. Artinya, bila aktivitas TBM dijalankan secara konsisten maka jumlah pembaca akan bertambah dengan sendirinya. Sebagai contoh di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor, saat berdiri di tahun 2017 hanya 14 anak pembaca aktif. Tapi kini di tahun 2023, tidak kurang dari 130 anak tercatat sebagai pembaca aktif. Plus, pengguna layanannya seperti orang tua, berantas buta aksara, yatim + jompo mencapai 200 orang setiap minggunya. Begitu pula relawan, tadinya tidak punya sama sekali. Saat ini ada 5 wali baca dan 12 relawan yang mengabdi di TBM Lentera Pustaka.

 

Suatu kali di TBM, banyak atau sedikitnya pembaca bukanlah tolak ukur satu-satunya. Tapi komitmen dan konsistensi dalam menjalankan program literasi dan aktivitas taman bacaan. Kan jelas, tidak ada teori paling benar di TBM. Intinya TBM harus dikelola dengan baik dan profesional, lebih kreatif dan berkolaborasi. Agar TBM jadi tempat yang asyik dan menyenangkan. Maka untuk itu, TBM harus dijadikan ladang amal sekaligus media dakwah. Sehingga siapapun, mau mengabdi dan berkiprah dengan sepenuh hati. Banyak atau sedikit pembacanya itu relatif. Kewajiban TBM itu “berdakwah” tentang literasi dan kegemaran membaca buku secara konsisten. Tanpa peduli, banyak atau sedikit pengikutnya. Persis seperti Nabi Muhammad SAW dulu, tugasnya hanya menyampaikan dakwah dengan benar dan jelas sekalipun pengikutnya sedikit di kala itu.

 

Maka siapapun saat berada di TBM, harus mampu mengubah keluhan jadi harapan. Mengubah tantangan jadi peluang, dan melawan setiap ancaman yang ada di sekitar TBM. Karena TBM, bisa jadi adalah cara Tuhan untuk memberi jalan kepada pegiat literasi untuk terus berjuang keras demi tegaknya literasi dan taman bacaan di tengah himpitan era digital. Karena kalau bukan TBM, mau siapa lagi yang mengajak untuk membaca buku?

 

Siapapun di TBM, terbukti harus berjiwa pantang menyerah. Harus lebih kreatif, mau berkolaborasi, dan menyukai keberadaannya di TBM. Menyukai TBM-nya, menyukai apa yang dilakukan di TBM, dan menyukai cara yang dilakukannya di TBM. Karena bila sudah suka berada di TBM, maka tidak ada orang yang dapat menggoyahkan eksistensi TBM itu sendiri. Itulah yang disebut “passion” di TBM. Dan yang tidak kalah penting, pegiat literasi harus “turun ke bumi”, diurus TBM-nya. Jangan terlalu banyak seminar atau diskusi tentang TBM agar tetap “berpijak di bumi” dan tahu solusi dari tiap masalah yang dihadapinya di TBM. Karena suka atau tidak, hari ini banyak pegiat literasi di TBM lebih banyak teori daripada praktik. Gagal mengubah niat baik jadi aksi nyata.

Berkiprah di TBM hanya butuh konsistensi dan komitmen. Agar lebih berani berkreasi di TBM dengan caranya sendiri. Bila berani berdiri dan berbicara tentang TBM, maka harus berani pula untuk duduk dan mendengarkan sambil membaca buku di TBM. Proses itu tidak akan mengkhianati hasil. Cukup lakukan hal-hal kecil di TBM dengan cara yang hebat dan tepat.

 

Selain harus konsisten, pada akhirnya dibutuhkan sikap sabar saat berada di TBM. Karena di TBM, sama sekali tidak perlu menjelaskan tentang TBM kepada siapapun. Karena yang menyukai TBM tidak butuh itu dan yang membenci TBM pun tidak akan percaya itu. Jalani saja prosesnya di TBM, itu sudah lebih dari cukup. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *