Literasi tidah harus selalu buku, tidak melulu soal membaca. Literasi pun bisa lahir sebuah obrolan. Karena literasi ada untuk membangun manusia literat. Siapa manusia literat? Yaitu manusia yang mampu memahami realitas. Sehingga fokusnya bukan masalah tapi solusi. Untuk antisipasi dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik. Bukan sebeliknya, malah “mundur” mempersoalkan masa lampau.
Seperti obrolan literasi antara seorang kakek dengan ketiga cucunya. Saat momen idul Fitri 1442 H lalu. Menarik, karena apa yang dibicarakan antara kakek dan cucunya sangat jarang dituliskan orang. Lalu apa yang mereka obrolkan? Inilah bagian dari literasi yang patut disimak.
Sang cucu yang dulu masih kecil, kini beranjak dewasa dan sudah bekerja. Lalu bertanya, “Kek, kenapa sih kita harus hidup sederhana?”
Sang Kakek pun tersenyum. Lalu dengan suara parau menjelaskan. Begini cucuku. Sederhana itu sikap, bukan keadaan. Maka siapapun boleh kok bekerja keras untuk jadi kaya. Boleh kok hidup mewah. Punya ini, punya itu. Asal tetap bersikap sederhana. Nafsu meraih kekayaan dan kemewahan itu seringkali diikuti denfan cara yang salah untuk mendapatkannya. Jadi cucuku, tidak ada yang salah bila apa yang kamu peroleh hari ini itu sesuai kemampuanmu. Tapi sangat salah bila diraih dengan cara yang tidak baik.
“Kenapa begitu Kek?” tanya sang cucu penasaran.
Iya, pasti semua orang ingin hidup serba ada, serba berkecukupan tanpa kekurangan.
Ingin banyak harta, ingin banyak ilmu, ingin punya jabatan. Bahkan ingin banyak temaa. Atau berpengaruh kepada lingkungan atau orang banyak. Itu sah-sah saja bila mampu melakukannya.
Tapi itu semua sangat salah dan tidak ada guna. Bila keinginan itu diraih dengan cara mengganggu kenyamanan orang lain atau menyakitinya. Apalagi harus memfitnah dan ngin menyingkirkan orang lain. Hari ini banyak orang sudah lupa, apa arti menekan, mengancam, menakuti orang lain? Berkata-kata seolah-olah benar. Tapi bertabur kebencian, bahkan kemunafikan di belakangnya.
Istilahnya, apapun berani dilakukan. Asal obsesinya tercapai, asal tujuan hidupnya terpenuhi. Itulah orang-orang yang lupa akan Tuhannya. Seolah dia hidup tidak akan mati. Maka cucuku, berhati-hatilah di zaman sekarang. Karena banyak yang salah mengaku benar. Tapi jelas ada yang benar tapi disalahkan beramai-ramai.
“Jadi, gimana seharusnya hidup kita Kek?” tanya si cucu lagi.
Begini cucuku. Kata Kanjeng Sunan Kalijaga, “Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan, lan kemareman.” Itu artinya, jangan terkukung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan, dan kepuasan duniawi semata. Karena hidup bukan hanya tentang memiliki harta, jabatan atau pangkat. Agar dipuji dan disegani orang lain. Bukan pula tentang kekayaan sebagai tolak ukur tingginya martabat diri.
Semua itu hanya soal kepuasan duniawi. Lalu kita lupa. Bahwa kita punya jiwa dan hati nurani yang mungkun terasa berat menyangga harta, pangkat dan kepuasan duniawi itu.
Hati-hati cucuku. Di depan mata kita hari ini, itu semua hanya nafsu yang menikmatinya. Maka jangan libatkan hati nurani hingga ternodai pula.
Sudah ya cucuku. Segitu saja. Tetaplah kalian hidup untuk selalu merasa cukup, banyak bersyukur terhadap apa yang didapat. Silakan hidup berlebih, silakan raih apa yang bisa kamu raih. Asalkan baik dan benar cara mendapatkannya.
Dan setelah Kakek cerita begini. Jangan hanya bilang paham tapi praktikkan ya cucuku. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #PegiatLiterasi #Tamanbacaan #KampanyeLiterasi