Catatan Hardiknas, Menjadikan Pendidikan yang Literat

Ini sebuah catatan di Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei. Tentang surat untuk kaun terdidik.

Mungkin kita sepakat, pendidikan itu tidak identik dengan kepintaran. Pendidikan bukan pula pengganti kecerdasan. Tapi pendidikan adalah kepekaan, sebuah kepedulian. Maka pendidikan seharusnya berbasis pada karakter, pada moral yang bisa menjadikan siapaun yang terdidik menjadi lebih baik. Sangat keliru, bila pendidikan dipandang sebagai alat untuk menggapai kehormatan. Apalagi pangkat dan jabatan. Hingga akhirnya, banyak orang pintar hanya mempertontonkan arogansi, egoisme. Lalu, memandang dunia seperti miliknya sendiri. Kaum terdidik yang dibayangi nafsu. Segala sesuatu “dikorbankan” asal keinginannya terpenuhi.

 

Lebih baik kita memiliki seribu kepekaan walau tanpa pendidikan. Punya kepedulian dan kesalehan sosial tanpa pendidikan. Daripada berpendidikan tapi tidak peka sama sekali. Pendidikannya tinggi tanpa kepedulian. Untuk apa?

 

Sekarang ini, banyak kaum terdidik yang pergi makan ke mana-mana, nongkrong pakai laptop di mana-mana? Ngopi di tempat keren sambil diskusi tentang negara dan kekuasaan. Tapi sayang, cuma sampah doang saja buangnya sembarangan. Coba deh pergi ke gunung, ke laut. Berapa banyak sampah yang dibuang kaum terdidik. Ada banyak kaum terdidik yang kemping, melatih “bertahan hidup” di alam. Tapi sayang, gunung dan jalur pendakian seketika malah makin kotor sepulang mereka. Kaum terdidik sering membersihkan mukanya dengan tissue. Tapi sesudah itu, tissue bekas dibuang seenaknya. Apa begitu, contoh yang diberikan kaum terdidik?

 

Kepada yang terhormat kaum terdidik. Di hari pendidikan nasional ini. Mari kita renungkan bersama. Bahwa kita memang boleh bangga, pendidikan di negeri ini maju sekali. Hingga menjadi simbol martabat bangsa katanya. Pendidikan sangat mudah diakses masyarakat. Belum ideal tapi sudah sesuai harapan dunia pendidikan. Aspek pedagogi dan andragogi sudah berlangsung seiring sejalan. Guru semakin bertanggung jawab atas apa yang diajarkan. Siswa pun kian mandiri. Teori pendidikan terus lahir dari orang-orang pintar. Walau praktiknya masih “jauh panggang dari api”.

 

Kepada yang terhormat kaum terdidik. Kenapa sih korupsi masih tetap merajalela di negeri ini? Mengapa sih nafsu berkuasa semakin menggila di bangsa ini? Hingga negeri ini dinobatkan sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Dinasti kekuasaan makin dipertahankan. Katanya, korupsi itu tindakan kejahatan. Katanya, dinasti kekuasaan itu awal mula dari kolusi dan nepotisme. Tapi kenapa kaum terdidik membiarkan semua itu terjadi?

 

Kaum terdidik pasti tahu dong.  Sulit dibantah orang-orang pintar di negeri kita melimpah ruah. Tapi kenapa orang-orang pintar lebih suka mencari-cari kesalahan orang lain? Ada masalah bukannya diperbaiki malah dieksplorasi. Orang pintar kadang lucu, ingin tinggi tapi caranya menjatuhkan. Ingin baik tapi menjelekkan. Terkadang kita bingung, dulu orang-orang pintar itu sekolah di mana? Apa sih mata pelajaran yang dipahaminya, agama atau PPkn? Kok sekarang, malah makin banyak orang-orang pintar yang gaduh dan berisik. Sementara orang-orang yang dianggap bodoh hanya bisa diam dan berharap hidupnya lebih baik. Jadi, apa yang salah dengan pendidikan kita?

 

Mohon maaf ya kaum terdidik. Saya memang bukan orang pintar. Tapi saya masih terus belaar dan mencari jawaban dari banyak sekali pertanyaan. Dan akhirnyam saya menyimpulkan bahwa hasil tertinggi dari pendidikan itu adalah memahami realitas. Punya toleransi, punya kepedulian kepada sesama. Karena prinsip penting pendidikan adalah semakin paham perbedaan, harusnya makin paham arti kebersamaan. Itulah pendidikan yang literat, bukan pendidikan yang Merdeka!

 

Sejatinya, pendidikan bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Apalagi bersikap arogan dan egois atas nama kecerdasan dan pendidikan. Tapi pendidikan seharusnya lebih berdaya untuk menemukan cara dalam memperbaiki kesalahan, mengatasi kekuarangan yang ada.

 

Kepada yang terhormat kaum terdidik. Saya sangat menyadari pendidikan itu kompleks. Sekalipun pendidikan penting tapi bukan berarti tidak boleh dikoreksi. Negeri ini sudah penuh sesak oleh orang-orang pintar. Sudaj padat oleh orang-orang terbaik dengan kualitas pendidikan yang tinggi. Tapi sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang “gagal” memaknai nilai-nilai sakral dalam pendidikan. Bahwa pendidikan lebiih bertumpu pada value oriented, bukan knowledge oriented. Karena bukan gelar atau pangkat yang menjadikan kita terdidik. Melainkan manfaat dan amaliah dari ilmu yang dimiliki. Pendidikan yang sungguh-sungguh berkontribusi terhadap realitas kehidupan.

 

Mungkin kaum terdidik setuju. Bahwa semakin banyak ilmu seseorang harusnya semakin besar sumbangsihnya kepada orang lain. Seperti kata Marthin Luther King, “Life’s most persistent and urgent question is “what are you doing for others?”. Apa yang sudah dilakukan kaum terdidik untuk orang lain?

 

Maka jadikan pendidikan lebih literat. Proses pendidikan yang mengajak untuk belajarlah dari masa lalu bila ingin mendefinisikan masa depan. Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei. Salam literasi #HariPendidikanNasional #CatatanHardiknas #TBMLenteraPustaka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *