Ada yang bilang sikap lebih penting daripada fakta. Ini soal bagaimana kita menyikapi setiap keadaan. Tentang bersikap dan mau apa ke depannya? Bila sedih hari ini, terus mau apa ke depan dengan kesedihan itu. Bila gembira dan senang, terus mau ngapain dengan kegembiraan itu. Semuanya tergantung sikap kita, tergantung kamu sendiri.
Dalam filsafat eksistensialis, Jean-Paul Sartre menekankan pentingnya kebebasan individu dalam menentukan makna dan respons terhadap kehidupan. Bahwa manusia tidak sepenuhnya dikendalikan oleh keadaan eksternal. Tapi oleh cara si manusia itu dalam menafsirkan fakta atau keadaannya. Apa pun yang terjadi dalam hidup, baik atau buruk, bukanlah faktor penentu utama. Melainkan bagaimana seseorang bereaksi terhadapnya?
Apapun keadaannya, setiap manusia selalu memiliki pilihan. Bahkan dalam situasi paling sulit, seseorang tetap memiliki kebebasan untuk memilih sikapnya. Ini sejalan dengan konsep l’Être et le Néant (Being and Nothingness), di mana Sartre menjelaskan bahwa manusia tidak hanya “ada” secara pasif, tetapi selalu “menjadi” melalui keputusan dan tindakan yang dipilihnya.
Semuanya tergantung kamu. Bergaul silakan tapi harus disikapi untuk apa pergaulan itu? Untuk mencari musuh, meremehkan orang lain atau untuk kemaslahatan umat. Bekerja pun sama, mau apa dengan pekerjaan? Hanya pengen punya gaji, pengen aktualisasi diri atau memang punya misi mulia dalam bekerja. Termasuk aktivitas sosial, untuk apa dan mau apa? Sekadar berorganisasi atau memang dijadikan ladang amal untuk berbuat baik dan menebar manfaat. Apapun, setiap kita punya pilihan dan pilihan itu mencerminkan sikap kita, bukan sekadar fakta.
Maka bersikaplah dalam hidup, bukan hanya sekadar mengikuti apa yang terjadi. Bukan hanya fokus pada fakta atau realitas tanpa bisa mengambil sikap ke depannya. Jadi sangat benar, bukan keadaan yang membentuk kita. Melainkan cara kita merespons keadaan tersebut yang akan menentukan siapa kita besok. Salam literasi!