Pagi itu, Ardi menatap layar ponselnya. Notifikasi gaji sudah masuk ke rekeningnya baru saja muncul. Senyumnya mengembang, hatinya langsung lapang. Sumringah.
“Fix, malam ini kita makan wagyu lagi!” serunya di ruang kantor yang sepi, kecuali Raka, rekan satu timnya.
Raka hanya melirik singkat. “Gaji mau langsung lo habisin lagi, Bro?”
“Buat apa disimpan? Hidup dinikmati. Gaji itu buat dibelanjakan, bukan ditabung. Nanti juga anak-anak sukses, bisa urus kita.” Balas Ardi sambil menyender di kursi kerja. Santai, lalu membayangkan liburan ke Bali bulan depan.
Raka menghela napas. Ia mengenal Ardi sejak awal kerja di kantor ini, dua puluh tahun lalu. Sama-sama berangkat dari nol. Bedanya, sejak awal Raka menyisihkan sebagian gajinya ke program pensiun kantor, ikut DPLK, dan perlahan membentuk dana cadangan untuk hari tuanya. Ia bukan yang paling kaya di kantor, tapi ia tahu ke mana uangnya pergi.
Tahun demi tahun berlalu.
Ardi tetap jadi bintang di kantor. Promosi, bonus, gaya hidup—semua ia kejar. Tapi setiap awal bulan, dompetnya kembali kosong. Tak ada dana darurat, tak ada investasi. Hanya cicilan dan tagihan.
Lalu hari itu tiba. Usia 58. Usia pensiun Ardi tiba. Sudah waktunya berhenti bekerja. Kantornya memberikan upacara kecil, beberapa ucapan selamat, dan bingkisan. Ardi tersenyum, tapi dalam hatinya gelisah. Ternyata, puluhan tahun bekerja begini saja, ucap batinnya.
Sebulan setelah pensiun, Ardi mulai merasa sesak. Tabungan? Nol. Istri? Mulai khawatir. Anak-anak? Ada yang masih kuliah, ada yang bekerja serabutan. Sementara tagihan tidak ikut pensiun. Biaya hidup berjalan terus, Kepala Ardi mulai puyeng. Entah dari mana, dia harus membayar semasa pensiun. Stres dan gelisah, terus merasuk di pikirannya. Ardi pun mencoba melamar jadi pengajar paruh waktu. Beberapa lamaran dikirim, tidak satu pun membalas. Dia ingin bekerja lagi, apa daya sudah pensiun. Pasti ada Batasan dan kendalanya.
Sore itu, Ardi duduk di teras rumah, menatap kosong. Hujan turun perlahan. Di tangannya, secarik undangan reuni kantor. Raka datang menjemput dengan mobil barunya. Senyumannya tenang.
“Lo keliatan capek, Di.”
Ardi mengangguk lemah. “Gue dulu salah, Ka. Nggak pernah mikir masa depan. Sekarang, gue baru tahu artinya ‘menabung untuk diri sendiri dihari tua’.”
Raka menepuk bahunya. “Belum terlambat buat hidup lebih bijak. Tapi memang, kalau bisa ulang waktu, pasti elo akan mulai lebih awal.”
—–
Ardi mulai menyesali keteledorannya di masa bekerja. Lupa mempersiapkan masa pensiunnya sendiri. Ternyata, hidup bukan hanya tentang hari ini. Karena suatu hari nanti, kita semua akan bertemu dengan versi tua diri kita sendiri. Pertanyaannya: sudahkah kita siapkan bekal untuk hari tua, saat tidak bekerja lagi?