Cerpen Pensiunan: Pak Darto Jadi Beban Anak di Hari Tua

Di sebuah kelurahan di kota Jakarta, hidup seorang pria lanjut usia bernama Pak Darto, 68 tahun. Dulu, dia adalah pegawai tata usaha di SMA Negeri selama lebih dari 30 tahun. Setiap pagi, ia berangkat lebih awal dari guru-guru lain, memastikan dokumen rapi dan kelas siap digunakan. Ia bukan orang penting di sekolah, tapi semua orang mengenalnya sebagai sosok yang rajin dan ramah.

 

Gajinya tak pernah besar. Tapi bagi Pak Darto, bekerja bukan soal uang semata, melainkan soal pengabdian. Ia membesarkan tiga anaknya dengan penuh perjuangan, tanpa mengeluh. Ia percaya, “Kalau anak-anak sukses, nanti mereka bisa bantu saat dirinya tua dan pensiun.”

Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana.

 

 

Tak Ada Tabungan, Tak Ada Rencana. Selama masa kerjanya, Pak Darto tidak pernah punya tabungan pensiun selain potongan iuran dari program pensiun pemerintah. Setiap bulan, gajinya habis untuk kebutuhan dapur, sekolah anak, dan sesekali pengobatan istrinya yang mengidap tekanan darah tinggi. Tawaran ikut program dana pensiun swasta selalu ditolak, “Uang dari mana? Ini saja pas-pasan setiap bulan,” katanya waktu itu.

 

Ia mengira, begitu pensiun, hidup akan tenang. Karena anak-anaknya akan mapan, dan mau membantu dirinya sebagai orang tua. Agar dia bisa menikmati masa tua dengan istri di rumah kecilnya.

 

Kenyataan yang Tak Diharapkan. Saat pensiun di usia 60 tahun, Pak Darto menerima uang pensiun bulanan sebesar Rp1,2 juta. Nilai yang semakin kecil dari tahun ke tahun akibat harga kebutuhan terus naik. Apalagi setelah istrinya terkena stroke ringan, biaya obat bulanan memakan setengah dari uang pensiunnya setiap bulannya.

Anak sulungnya tinggal di Bandung, bekerja sebagai staf di perusahaan logistik. Anak keduanya menjadi guru honorer, dan si bungsu masih berjuang sebagai freelancer desain grafis. Mereka semua berusaha membantu, tapi Pak Darto tahu, mereka juga sedang berjuang untuk hidupnya masing-masing. Pak Darto paham, setiap anak pasti punya kebutuhan dan masalahnya sendiri-sendiri.

 

“Ayah tinggal sama saya saja,” kata si bungsu saat itu, menawarkan tempat di rumah kontrakan kecil yang ia sewa bersama istrinya. Pak Darto mengangguk, meski dalam hati ia merasa malu. Tidak pernah terbayangkan, masa tuanya akan ia lalui dalam ketergantungan pada anak.

 

Hari-hari yang Sunyi. Sekarang, Pak Darto hanya duduk di teras rumah sempit itu. Setiap pagi ia menyiram tanaman, lalu membaca koran bekas yang dikumpulkan anaknya dari warung kopi. Kadang, ia termenung lama sambil memandangi jalan.

“Dulu aku ingin mandiri sampai mati,” bisiknya pelan suatu sore.

Anaknya tetap bersikap manis, mencium tangan tiap pagi, menyiapkan teh hangat, dan tak pernah mengeluh. Tapi Pak Darto tahu, ia bukan lagi kepala keluarga, ia adalah beban yang harus ditanggung dengan Ikhlas oleh anaknya.

 

Penyesalan yang Terlambat. Jika bisa memutar waktu, Pak Darto ingin berkata pada dirinya di usia 30-an:

“Sisihkan sedikit gaji untuk masa pensiun, tak peduli seberapa kecilnya. Karena nanti kamu butuh, dan tak selalu ada yang bisa bantu.” Ia berharap dulu tidak mengabaikan brosur-brosur dana pensiun yang dibagikan di sekolah. Ia berharap sempat menyisihkan sedikit saja untuk hari ini. Tapi semuanya sudah terlambat, Pak Darto kini hidup dalam kekurangan dan menjadi beban dari ankanya. Penyesalan yang terlambat di hari tua.

 

Hidup Pak Darto adalah cerminan banyak orang: mereka yang bekerja keras seumur hidup, tapi lupa mempersiapkan hari tua. Para pekerja yang tidak punya dana pensiun, pada akhirnya mengalami kesulitasn keuangan di hari tua atau jadi beban ekonomi anak-anaknya Di Indonesia, ribuan pensiunan mengalami hal serupa. Mereka menggantungkan hidup pada anak, atau bahkan harus tetap bekerja di usia senja saat badannya sudah tidak kuat lagi.

Ternyata benar, pensiun bukan soal usia atau waktu tapi soal keadaan. Mau seperti apa di hari tua?

 

Pak Darto pun berpesan kepada generasi muda. “Mulailah memikirkan masa pensiun sejak sekarang. Jangan tunggu “mapan”, karena kesiapan finansial bukan soal jumlah, melainkan soal kebiasaan. Siapkan pensiun untuk diri ita sendiri, mumpung masih bekerja’. Salam #YukSiapkanPensiun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *