Sudah hampir dua tahun sejak Pak Darto resmi pensiun dari pekerjaannya sebagai manajer keuangan di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta. Ia ingat jelas hari terakhirnya di kantor: senyum hangat dari rekan kerja, pelukan canggung dari anak-anak magang yang dulu sering ia marahi karena salah input data, dan kotak kardus berisi plakat, buku catatan, dan satu buah tanaman kaktus yang kini tumbuh di pojok ruang kerja di rumahnya.
Tapi pagi ini, tak ada kemacetan, tak ada suara klakson, tak ada target bulanan. Yang ada hanya semilir angin dan nyanyian burung yang menyambut Pak Darto ketika ia membuka pintu rumahnya.
Rumah itu terletak di pinggiran kota Bogor. Tidak terlalu besar, tapi cukup luas untuk dua orang dan satu kebun kecil. Ia dan istrinya, membeli rumah itu lima belas tahun lalu sebagai bagian dari rencana pensiun mereka. Saat itu, banyak yang mengira mereka terlalu dini memikirkan pensiun. Tapi Pak Darto selalu percaya bahwa hidup bukan tentang seberapa lama kamu bekerja, tapi seberapa siap kita menyiapkan waktu untuk berhenti.
Jam Tangan Tanpa Alarm
Jam tangan Pak Darto kini tak pernah disetel alarm. Ia bangun karena tubuhnya memang ingin bangun, bukan karena kewajiban. Setelah mencuci muka dan shalat subuh, ia berjalan kaki menyusuri taman kompleks. Kadang ditemani istrinya, kadang sendirian. Di sepanjang jalan, ia hafal tiap wajah yang ia temui: tetangganya yang selalu membawa anjing pudelnya, Pak Haji Karim yang baru operasi jantung tapi tetap semangat jalan pelan-pelan, dan anak-anak SMA yang lewat dengan seragam dan mata kantuk.
“Pagi, Pak Darto,” sapa mereka. Ia membalas dengan senyum dan anggukan, kadang menambahkan candaan ringan.
Sesampainya di rumah, sarapan sudah terhidang. istrinya, yang dulu guru SD dan pensiun dua tahun sebelum Pak Darto, lebih dulu beradaptasi dengan kehidupan pensiun. Mereka punya ritual sarapan yang hampir sakral: teh panas, roti panggang, potongan pepaya, dan obrolan tentang apa pun. Terkadang tentang anak-anak mereka yang sudah berkeluarga, kadang tentang berita yang muncul di televisi, dan tidak jarang soal rencana-rencana kecil liburan, renovasi rumah, atau sekadar ingin mengganti warna tirai ruang tamu.
Menjadi Guru Tanpa Papan Tulis
Meski tidaak lagi ke kantor, Pak Darto tidak pernah berhenti bekerja, hanya saja, sekarang ia bekerja pada hal-hal yang ia cintai. Ia membuat blog pribadi tentang keuangan keluarga dan menuis di media online. Awalnya hanya iseng, menuliskan ulang materi pelatihan yang dulu ia berikan pada tim di kantor. Tapi ternyata, banyak anak muda yang menemukan tulisannya dan merasa terbantu. Komentar demi komentar masuk, sebagian menanyakan strategi pernavnaan hari tua, soal dana pensiun. Sebagian lagi minta saran soal dana darurat atau cara menyisihkan uang dari gaji pertama.
Dari situ, ia mulai membuka kelas daring kecil-kecilan. Bukan demi uang, tapi demi rasa puas saat melihat anak muda yang dulu bingung kini paham bahwa pensiun bukan urusan orang tua, melainkan urusan masa depan. Agar kerja tetap yes, pensiun oke.
Setiap Senin dan Kamis pagi, ia duduk di ruang kerjanya, membuka laptop, dan berbagi ilmu dengan peserta yang tersebar dari Medan hingga Kupang. Wajah-wajah muda itu muncul di layar, antusias mendengar cerita dari seorang “Pak Darto” yang sederhana tapi berpengalaman.
Ruang Tengah dan Ruang Hati
Pukul 11.00 siang, Pak Darto menutup laptop, lalu bergabung bersama istrinya di ruang tengah. Kadang mereka menonton film dokumenter, kadang hanya duduk sambil membaca. Ia sedang membaca ulang buku Tuesdays with Morrie, buku yang mengajarkannya satu hal penting: bahwa hidup bukan soal berapa banyak yang kamu kumpulkan, tapi berapa banyak yang kamu berikan.
Mereka makan siang sederhana: sayur asem, tempe goreng, dan sambal mangga. Setelah itu, biasanya mereka tidur siang sejenak. Di usia seperti mereka, tidur siang bukan kemewahan, tapi kebutuhan.
Sore harinya, Pak Darto berkebun. Ia merawat tanaman cabai, tomat, dan pohon jeruk yang baru belajar berbuah. Sesekali ia tersenyum sendiri melihat betapa sabarnya ia sekarang. Dulu, ia tidak punya waktu bahkan untuk menyiram tanaman. Sekarang, ia bisa duduk satu jam penuh hanya untuk memperhatikan kupu-kupu di atas bunga.
Kembali Bermasyarakat
Setiap Jumat sore, ia ikut rapat RW. Bukan sebagai ketua, hanya sebagai warga yang ingin terlibat. Ia membantu membuat program edukasi keuangan sederhana bagi warga sekitar. Ia juga aktif di komunitas pensiunan, bahkan ikut membentuk program “Bank Waktu”, di mana para pensiunan saling membantu antar rumah dengan menukar waktu, bukan uang. Misalnya, Pak Darto menjaga cucu tetangga selama dua jam, lalu dia “menabung” waktu itu dan bisa menukarnya untuk bantuan lain di masa mendatang.
Kadang, saat malam datang, Pak Darto duduk di teras bersama istrinya. Di depan mereka, lampu taman menyala, dan suara jangkrik mengisi keheningan.
“Kalau dipikir-pikir, kita nggak pernah sepagi ini pulang waktu dulu kerja ya,” kata istri Pak Darto sambil tertawa kecil.
Pak Darto mengangguk. “Dulu kita pulang malam, sekarang kita pulang pagi. Tapi kali ini… pulangnya ke hidup yang sebenarnya. Sambil menikmati hari tua, menjalani masa pensiun dengan ikhlas”
—–
Pensiun bukan memang akhir dari segalanya. Bagi Pak Darto, justru di masa pensiuan inilah hidup terasa utuh. Ia tidak mengejar siapa-siapa, tidak membuktikan apa-apa, dan tidak takut kehilangan apa-apa. Ia hidup dalam irama yang ia pilih sendiri: lebih tenang, sederhana, dan bemakna untuk orang lain.
Dan di setiap pagi yang ia sambut tanpa alarm, ia tahu: inilah yang ia sebut sebagai “pensiun yang keren.” Masa tua yang tidak menyusahkan orang lain dan mengerkajakan apa-apa yang disenangi. Mandiri secara finansial di masa pensiun itu memang keren. Pak Darto pun tersenyum memandang hari tuanya. Salam #SadarPensiun #CerpenPensiunan #EdukasiDPLK