Conny Semiawan, Sang Guru Teladan Dari Rawamangun

Innalillahi wainnailaihi roojiiuun. Telah berpulang ke rahmatullah hari ini (1 Juli 2021) Ibu Prof. Dr. Conny Semiawan dalam usia 90 tahun. Seorang tokoh pendidikan Indonesia yang luar biasa. Gurunya ilmu pedagogik, kreativitas dan keberbakatan anak yang patut diteladani. Semoga beliau husnul khotimah dan mendapat terbaik di sisi Allah SWT. Beliau orang baik, seorang guru hebat.

 

Saya menulis ini untuk kenangan. Sebuah catatan kecil seorang murid untuk gurunya. Tahun 1989, saat saya diterima di IKIP Jakarta (UNJ), Ibu Conny adalah Rektor IKIP Jakarta. Sebagai mahasiswa baru, tentu saya belum mengenalnya. Tapi tiba-tiba, bumi Indonesia heboh akibat lahirnya “Buku Adik Baru” karyanya. Dianggap kontrovesial dan tidak lazim. Ya begitulah adanya.

 

Kala itu, jadi Rektor perguruan tinggi di ibu kota Jakarta, tentu tidak mudah. Rezimnya masih Pak Harto, Panglima TNI Jenderal Try Sutrisno, bahkan Mendagri Jend (Prun) Rudini. Belum lagi, stok mahasiswa IKIP Jakarta periode Ibu Conny tergolong nakal-nakal Di kampus banyak ulah, di luar kampus pun bertingkah. Adalah bakar-bakar sepatu lars di kampus bertajuk “Rawamangun Berkabung”. Hingga lakon drama pun di FPBS IKIP Jakarta seperti disengaja mencari naskah yang “menyentil” pemerintah. Tidak mencekam, tapi intel-intel beredar di kampus IKIP Jakarta kental terasa di era Ibu Conny saat menjadi Rektor.

 

Saya sendiri punya pengalaman. Saat acara Bulan Bahasa HMJ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, lupa tahun berapa, berniat memanggil sastra terkenal Rendra ke kampus IKIP Jakarta. Setelah pasang spanduk di kampus, langsung dipanggi beliau. Diinvestigasi, maklum saat itu Rendra tergolong “sastrawan kiri”. Saya katakan Rendra akan ber-orasi, tidak baca puisi. Dan Ibu Conny, hanya mengatakan . “Bila kamu yakin, jalankan. Sekalipun ada risiko. Ibu akan hadir”. Dalam hati saya, entah ada pesan apa “dari luar”. Sampai-sampai Ibu Rektor harus memanggil panitia cuma soal kegiatan mahasiswa di kampus. Zaman itu, memang agak aneh?

 

Sekali lagi, zaman itu mahasiswa IKIP Jakarta/UNJ memang nakal-nakal. Makanya banyak yang tidak selesai kuliah 5 tahun. Apalagi yang aktivis. Tapi di tangan Ibu Conny-lah, tradisi akademik di kampus tetap terjaga. Suasana kampus pun tetap kondusif. Ibu Conny bukan hanya sekadar Rektor yang mampu memimpin kampusnya di tengah “lirikan” aparatur. Tapi beliau mampu mengayomi dan mendidik mahasiswanya dengan imu pedagodik yang luar biasa. Beliau paham betul, bagaiman mendidik muridnya. Jangankan mahasiswa yang apatis, yang pintar secara akademik. Tapi mahasiswa yang “nakal” pun tetap dibimbing dan dilindungi. Di era beliau, mahasiswa kritis dan pendemo – termasuk dosen – bukan malah dimusuhi atau “ditenggelamkan” istilah sekarang. Tapi dirangkul, diajak berdiskusi secara intensif. Tujuannya sederhana, agar tercipta iklim akademik dan lingkungan kampus yang kondusif dan kompetitif. Agar sikap kritis yang ada, bernilai tambah bagi kampus bagi kegiatan-kegiatan kampus yang lebih produkktif.

 

Anak-anak “nakal” itu, istilah saya, biasanya aktivis mahasiswa yang baru bisa kelar kuliah di atas 5 tahun; kerjanya demo-demo dan nongkrong diskusi di kampus hingga larut malam. Jika perlu menginap di kampus. Berbagai kebijakan kampus dikritisi, didemo oleh anak-anak “nakal” ini. Sering kali, mereka berseberangan dengan rektor atau kampus. Tapi sekali lagi, Ibu Conny dengan caranya tetap merangkul. Agar tetap kritis yang elegan dan kompetitif ke luar kampus.

 

Bagi saya kini, Ibu Prof. Dr. Conny Semiawan, bukan hanya mantan Rektor IKIP Jakarta/UNJ. Bahkan lebih dari sekadarr professor atau guru besar. Ibu Conny adalah “ibu akademik” bagi mahasiswanya, bagi murid-muridnya. Selama kuliah di IKIP Jakarta tahun 1989-1994. Lima tahun tidur di kampus, sambil mengurusi HMJ, SEMA Fakultas, SEMA IKIP. Saya belajar satu hal penting dari Ibu Conny. Bahwa mahasiwa, mau sekritis apapun, senakal apapun, harus tetap mencintai “ilmu dan pengetahuan”. Maka semuanya harus dilakukan secara elegan dan dipikir matang. Tidak sembarangan. Itulah yang hingga kini, saya anggap yang membedakan orang kampus dan nonkampus.

 

Selama 2 periode (1984-1992), Ibu Conny  menjabat sebagai Rektor IKIP Jakarta/UNJ. Seorang rektor yang “hidup” di era keras rezim Orde Baru. “Sekali demo, maka kalian akan aku bungkam” begitu rasa zamannya.  Tapi di bawah kepemimpinan dan tangan dingin Ibu Conny, IKIP Jakarta saat itu tetap mampu jadi “Center of Excellence”, sebagai salah satu kampus tempat  lahirnya gagasan dan pergerakan “perlawanan terhadap rezim” yang kritis dan elegan. Kampus bukan hanya “kawah candradimuka” hadirnya gagasan akademik, riset dan intelektualias semata. Tapi kampus, harus mampu menjadi “ruang terbuka” untuk menyampaikan aspirasi dan mimbar kebebasan berpikir. Ibu Conny memang guru teladan.

 

Apa cukup sampai di situ? Tidak, setelah saya pamit dari IKIP Jakarta/UNJ tahun 1994. Lama tidak bertemu beliau. Alhamdulillah di usia tuanya, saya dan teman-teman sempat menyambangi rumah Ibu Conny di Jl. Brawijaya pada 7 Juli 2017. Untuk bertukar pikiran dan menengok keadaan beliau. (Silakan simak: Ketika Alumni IKIP Jakarta Menyambangi Prof. Conny Semiawan Halaman 1 – Kompasiana.com). Dan memang beliu layak disematkan “tokoh Pendidikan”. Karena di usia tuanya pun, beliau tetap menulsi dan melahirkan buku “Strategi Pengembangan Otak; dari Revolusi Biologi ke Revolusi Mental”. Saya dan teman-teman pun ikut hadir menyukseskan acara peluncuran buku beliau pada 25 November 2017 di Jakarta. (Simak: Peluncuran Buku ‘Strategi Pengembangan Otak’ – Analisa – www.indonesiana.id)

 

Ibu Conny, mungkin tidak akan membaca tulisan ini. Karena ini hanya in memoriam Ibu Conny. Tapi sepeninggal Ibu Conny ada pesan.  Bahwa di kampus harus ada “ruang terbuka” untuk membangun kesadaran kritis, sekaligus kesadaran intelektual untuk tetap cinta pada ilmu dan pengetahuan. Maka pendidikan, hingga kapan pun tidak boleh diam. Harus terus bergerak dan berdinamika.  Atas nama pendidikan, siapa pun tidak perlu takut berbeda pendapat. Tidak perlu tabu berseberangan pemikiran. Bahkan jangan pula membungkam kritik. Karena sejatinya, ilmu pengetahuan justru dibesarkan dan bisa hidup karena ada kritik. Bukan hanya nyaman dan baik-baik saja, bila akhirnya tidak berbuat apa-apa.

 

Maka in memoriam Ibu Prof. Dr. Conny Semiawan. Saya hanya ingin mengenang beliau. Sebagai sosok yang “keibuan dalam pendidikan”. Pendidikan kasih sayang adalah cara terdepan membangun peradaban bangsa Indonesia, peradaban orang-orang yang tidak boleh berhenti belajar.

 

Terima kasih Ibu Conny atas segala ilmunya yang luar biasa. Semoga Ibu husnul khotimah. Insya Allah, doa-doa indah selalu terlantunkan untuk Ibu, doa dari kami murid-murid untuk sang guru teladan. Selamat jalan Ibu Conny, sang guru teladan dari Rawamangun … #UNJBerduka #ConnySemiawan #SangGuruTeladan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *