Entah kenapa, kawan saya selalu ingin berada di tengah? Dalam hal apapun, posisinya selalu mencari di tengah. Apalagi dalam urusan foto. Saat saya tanya, kenapa ambil posisi di tengah? Jawabnya, karena di tengah itu indah bahkan nikmat pula.
Mungkin ada benarnya. Untuk semua urusan, ambillah posisi di tengah. Karena di tengah lebih netral, lebih normatif. Tidak terlalu ekstrem, tidak pula cuek. Tidak berlebihan tapi tidak kurang pula. Di tengah jadi seimbang, jadi lebih pantas. Tidak terlalu jauh tidak pula terlalu dekat. Biasa-biasa saja. Ambillah posisi tengah karena di tengah itu nikmat lagi indah.
Zaman now, terkadang menyeramkan. Urusan politik, urusan kerjaan, urusan apa saja. Banyak orang condong miring ke kiri, condong ke kanan. Jilat sana jilat sini. Hujat sana hujat sini. Benci sini benci sana. Akhirnya, lupa untuk bersikap di tengah-tengah. Lupa bila di tengah-ytenag itu indah lagi nikmat. Jadi tidak netral lagi.
Rileks saja, tetaplah di tengah-tengah. Karena cinta dan benci itu silih berganti. Manis dan pahit pun bergiliran. Suka dan duka sering berganti musim. Tidak usah terlalu gembira, tidak usah pula terlalu sedih. Karena semuanya sudah pantas untuk kita. Karena memang tidak ada satu orang pun di dunia ini yang hidupnya senang terus. Seperti tidak ada pula yang hari-harinya sedih melulu. Jadi sekali lagi, rileks saja. Tidak usah merasa terlalu nestapa atau merasa paling bahagia.
Tengah-tengah itu indah. Tentu, sebagai jalan tengah. Bila tidak suka ya tidak usah benci melulu. Jika suka pun tidak usah terlalu gembira. Kalah menang itu biasa. Seperti benci dan cinta pun bergantian. Bila tidak mampu berbuat baik ya tidak usah jahat. Bila tidak mampu cinta ya jangan terlalu benci. Sederhana kan. Jadi, tetaplah di tengah karena itu paling pas untuk kita.
Tengah itu berarti seimbang. Hidup yang seimbang. Seimbang antara harapan dan kenyataan. Seimbang antara keinginan dan kebutuhan. Seimbang pikiran dan perilaku. Ego versus logika, kemauan versus tuntunan. Semuanya harus dan mesti seimbang. Seperti seimbangnya lahir dan batin, jasmani dan rohani. “Nak, kalau jalan di tengah-tengah saja ya” begitu nasihat orang tua dulu. Biar tidak jatuh bila terlalu kiri, biar tidak tumbang bila terlalu kanan.
Cukup di tengah saja. Tidak usah teriak-teriak saat ngomong. Tapi juga jangan terlalu diam. Tetaplah di tengah biar objektif. Karena suara hati yang tengah-tengah itu pasti LIRIH tapi JELAS. Tidak usah terlalu merasa sepi saat lagi sendiri. Dan tidak usah terlalu merasa bangga bila lagi di tempat ramai. Itu semua silih berganti kok. Allah SWT sudah punya rencana jelas untuk siapapun. Jadi, kenapa terlalu bersemangat membenci? Kenapa pula merasa penting mengintimidasi, provokasi, atau ingin menghina sesama? Karena mereka “sudah jauh” dari jalan tengah. Terlalu berlebihan. Terlalu benci, terlalu cinta. Hingga tergelincir ke jalan setan. Jalan menganggap kesalahan sebagai kebenaran.
Ada yang tidak suka di tengah. Maka wajar, bila akhirnya gemar “menabrak” apapun. Ugal-ugalan di jalan, bahkan gemar memporak-porandakan yang sudah ajeg. Akibat nafsu, ego, dan sikap tidak mau mengalah. Arogan dan merasa paling benar sendiri. Semua orang lain dianggap salah. Orang yang sudah lupa jalan di tengah. Maka rusaklah persaudaraan, persatuan, toleransi, dan kebhinekaan. Senang bertikai, gemar bersengketa. AKibat lupa jalan tengah.
Khairul umuri awsathuha, begitu kata Nabi Muhammad SAW. Sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah. Jadi siapapun, tetaplah di tengah. Agar tetap eling lan waspada. Biar tidak terjebak ke dalam pusaran kegelapan, kejelekan berbalut “semangat kebaikan”. Benci itu boleh. Cinta juga boleh. Tapi jangan sampai pikiran picik dan kerdil, kejahatan pikir dan omong “dianggap” sebagai kewajaran.
Maka tetaplah di tengah. Berdirilah di tengah. Duduklah di tengah. Agar tetap objektif. Agar tetap seimbang. Karena setiap KEMAUAN pasti ada TUNTUNAN-nya. Karena menang, di tengah-tengah itu indah lagi nikmat. Salam tengah!