Cuma Cerita Literasi Doang, Soal IQ dan EQ

Cuma mau nulis dan cerita saja. Insya Allah, Agustus 2024 ini, saya genap 30 tahun mengajar di kampus Universitas Indraprasta PGRI (Unindra). Sejak tahun 1994 dan tidak terasa sudah mencapai tiga dekade. Saya suka mengajar karena orang yang mengajar pasti mau belajar. Entah, berapa lama lagi saya masih bisa mengajar? Di sisi lain, saya pun berkiprah di taman bacaan sejak 7 tahun terakhir ini. Sejak mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor pada 5 November 2017. Sebuah rumah yang saya jadikan tempat membaca anak-anak kampung secara gratis.

 

Di luar aktivitas mengajar di kampus dan taman bacaan, saya pun sehari-hari bekerja di Jakarta di bidang dana pensiun, khususnya Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), di samping menjadi konsultan independent terkait dana pensiun. Tapi balik lagi, tetap mengajar sebagai dosen di kampus sesuai dengan hari dan jadwal mengajar. Diskusi dengan mahasiswa, membimbing skripsi, dan sering pula menulis buku bareng mahasiswa. Dan setiap hari Sabtu-Minggu ke TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor, hanya untuk mengurus taman bacaan. Mengabdi di dunia literasi dan menjadikan aktivitas sosial sosial di taman bacaan sebagai ladang amal. Memang berat tapi semuanya harus dijalani. Bukti beratnya adalah disertasi S3 saya untuk meraih gelar doktor sampai saat ini masih belum kelar. Angkatan dan kuliah di tahun 2018 sampai saat ini belum selesai, sangat berat kan? Tapi saya terus ikhtiar dan semoga tahun 2024 ini, disertasi selesai dan bisa jadi doktor, amiin.

 

Ya begitulah realitasnya. Tanpa membandingkan dan dari semua cerita itu akhirnya berujung pada satu kesimpulan. Bahwa ternyata urusan “otak” bukan segalanya. Tapi urusan “hati” jauh lebih prioritas. Benar adanya, bila ada yang menyebut nilai akademik atau kecerdasan intelektual (IQ) hanya berperan 10-20% dalam mencapai keberhasilan. Selebihnya justru ada di kecerdasan emosional (EQ), tentu landasannya kecerdasan spiritual (SQ). Begitu sih yang saya rasakan. Intinya, harus seimbang antara intelektual, emosi, dan spiritual. Seimbang, jangan berat sebelah.

 

Karena faktanya, kecerdasan intelektual (IQ) tanpa kemampuan merasa (EQ) akan sangat berbahaya. Cerdas otaknya tapi tumbuh menjadi antisosial. Serba tidak peduli, apatis dan tidak gemar membantu orang lain. Orang-orang yang susah untuk punya empati, apalagi mengulurkan tangan. Lebih bahaya lagi, tanpa didukung kecerdasan spiritual. Maka hilanglah “hati nurani”. Hati yang kosong lagi hambar. Bayangkan, bila kecerdasan intelektual berdiri tegak tanpa hati nurani dan tanpa rasa lagi, wow sangat sangat  berbahaya. Seperti orang buta memegang pedang yang tajam …

 

Jadi hati-hati, jangan menyombongkan intelektual. Jangan percaya pada otak sendiri, terkadang salah tapi dipaksa benar. Makanya, adab selalu di atas ilmu. Agar jadi perhatian, bahwa otak atau logika bukan segalanya. Lebih baik menata hati, menjaga hati dalam soal apapun dan di mana pum. Di taman bacaan, saya pun mendidik hati bukan mendidik pikiran. Biar seimbang, biar lebih ada manfaatnya di sisa usia yang masih tersisa. Ahh, ini cuma cerita doang kok. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *