Di Balik Anak-anak yang Membaca di Taman Bacaan

Apa yang kita pikirkan saat melihat puluhan anak-anak sedang membaca buku? Mungkin ada yang menganggapnya pemandangan biasa. Ada pula yang merasa takjub, dan ada pula yang apatis saja. Tapi yang jelas, di tengag gempuran era digital seperti sekarang mugkian pemandangan anak-anak yang membaca tergilang langka. Jarang ditemui, bahkan jarang terjadi lagi. Begitulah faktanya, maka literasi digembar-gemborkan ke mana-mana hingga jadi isu nasional.

 

Khusus di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor, membaca bersama-sama bukan hanya menjadi tradisi. Anak-anak usia sekoloah pun dibiasakan membaca bersuara (membaca nyaring) yang memamg senagja dilatih. Tujuannnya sederhena, agar anak-anak pembaca aktif terbiasa melatih konsentrasi terhadap teks bacaan, di samping membiasakan suara (vocal) yang jelas. Pemandangan anak-anak yang membaca, sangat biasa di TBM Lentera Pustaka. Akan tetapi, itu semua tidak terjadi secara alamiah. Namun dilatih, dikondisikan sebagai bagian aktivitas taman bacaan.

 

Lebih penting dari itu, anak-anak yang membaca bersama-sama sekaligus menjadi simbol pentingnya memisahkan antara fakta dan interpretasi. Foto atau gambar anak-anak yang membaca adalah fakta, peristiwa nyata. Aksi nyata Tindakan kecil di taman bacaan, sebagai bagian menggerakkan aktivitas literasi di akar rumput. Membaca bukan lagi narasi yang dibahas sebatas diskusi dan seminar. Sebab bicara tentang literasi dan taman bacaan, sangat mungkin terjebak pada interpretasi atau narasi semata. Pemandangan anak-anak yang membaca adalah fakta yang terjadi, bukan interpretasi yang multitafsir.

 

Memisahkan fakta dari interpretasi, justru jadi bagian penting dalam literasi hari ini. Agar kita tidak terbuai pada otak atau logika yang sering kali manipulatif. Sehingga tercermin dalam kata-kata yang indah. Tapi belum tentu meyentuh “akar masalah” literasi itu sendiri. Sebab literasi adalah praktik bukan teori, taman bacaan pun aksi bukan narasi. Faktanya, anak-anak memang harus membaca secara konkret. Tapi interpretasi hanya menyebut membaca buku bisa paham bisa tidak? Maka saat membaca bersama-sama, anak-anak dilatih untuk bisa membedakan mana fakta mana interpretasi. Agar beban pikiran, bahkan beban mental anak-anak jadi berkurang. Membaca yang “nothing to lose”.

Membaca bersama-sama adalah fakta, bukan interpretasi. Sebuah cara untuk membiasakan diri untuk memisahkan dua hal, antara fakta dan interpretasi. Seperti demo yang berakgr rusuh kemarin, bisa jadi lebih banyak dibangun oleh interpretasi sehingga faktanya menjadi lebih buruk. Katanya ekonomi lesu dan daya beli menurun tapi faktanya tunjangan annngota DPR justru dinaikkan. Alhamdulillah, akhirnya dibatalkan tunjanganya. Fakta, sering kali mengajak kita untuk lebih rasional dan  lebih realistis.

 

Membaca bersama-sama adalah aksi. Sebagai bukti anak-anak bisa fokus pada dirinya sendiri dan terbiasa melakukan hal-hal kecil yang bermanfaat. Perilaku yang mungkin sudah banyak ditinggalkan orang. Tapi di taman bacaan, membaca tetap menjadi bukti otentik aktivitas yang masih ada di masyarakat. Membaca, adalah melatih hidup untuk tidak terpengaruh pada narasi dan interpretasi orang lain. Salam literasi!

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *