Filosofi Nrimo di Taman Bacaan

Hari ini, makin banyak orang yang sulit menerima keadaan. Obsesinya tinggi, lalu daya tolaknya kuat. Gagal menerima realitas. Gemar membanding-bandingkan, lalu berkeluh-kesah. Ogah nrimo keadaan, begitulah kira-kira bahasa orang kampungnya.

 

Nrimo atau menerima, jadi sikap dan perilaku yang kian langka. Apalagi bila dicampur-aduk dengan logika dan emosi, sungguh makin sulit diterima. Bahwa keadaan apapun sudah dikehendaki-Nya. Kadang, siapapun harus menerima. Agar berdamnai dengan keadaannya, lalu melangkah ke depan untuk lebih baik. Nrimo alias menerima segalanya.

Nrimo realitas. Karena kadang, harapan memang beda dengan kenyataan. Tidak semua yang dipikir pasti terjadi, apalagi yang cuma diomong. Tidak semua yang diharapkan pasti terjadi. Itu semua lazim dan tergantung kepada-Nya. Bila ada yang belum atau tidak “nrimo”. Bisa jadi, mereka sedang hidup dalam harapan dan mimpinya. Masih sulit menerima kenyataan. Karena nrimo hanya dimiliki mereka yang berjiwa besar. Jadi nrimo, level psikologisnya sangat tinggi. Memang benar, tidak semua orang bisa “nrimo”.

 

Filosofi nrimo. Nrimo itu ya menerima. Menerima apa yang sudah dianugerahkan-Nya. Nrimo bila kandidat presidennya si dia. Nrimo saja, bila tidak sama kan juga tidak dilarang beda. Ada orang yang kerjanya fitnah dan gibah. Ada pula yang kerjanya komentar doang tanpa aksi. Apapun dan di mana pun ya nrimo. Lalu, menentukan sikap itu penting.

 

Apa saja nrimo. Bersedia menerima realitas daripada memperkuat daya tolak. Agar energi tidak habis untuk hal-hal yang negatif, apalagi memupuk kebencian yang tidak pernah berakhir. Sekolah makin tinggi kok malah tidak bisa nrimo. Status sosial makin menyterang kok malah gebyah uyah sulit menerima. Beda pendapat tidak boleh, beda sudut pandang dimusuhi. Aneh, orang-orang yang sulit nrimo.

 

Nrimo itu bukan kepasrahan. Karena nrimo itu harus didahului ikhtiar. Usaha dulu. Apapun hasilnya baru nrimo, dengan penuh rasa syukur. Kalau kata bahasa Jawa, nrimo ing pandum; menerima dengan legowo. Sikap berserah diri terhadap apa yang dianugerahkan Allah. Soal apapun, untuk apapun.

 

Seperti di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Ada anak yang berhenti membaca, ada pula anak-anak dari kampung lain yang rajin datang membaca. Ada relawan yang sudah tidak bisa bergabung lagi. Tapia da juga relawan baru yang bergabung. Ada yang kurang koleksi bukunya, ada yang koleksi bukunya sudah memadai. Maka taman bacaan pun harus nrimo. Namanya berjuang untuk literasi dan tradisi baca masyarakat ya harus menerima apapun. Ada peluang ada tantangan. Tetap lapang dada dan menerima kenyataan saat mengelola taman bacaan. Asal tetap komitmen dan konsisten dalam menebar kebaikan dan kemanfaatan.

 

Siakp nrimo hari ini memang penting. Karena tanpa sikap nrimo, sulit bergaul dengan realitas. Bahkan sulit untuk berbuat baik kepada orang lain. Akhirnya, kebaikan hanya jadi bahan diskusi. Tanpa perlu dieksekusi dengan nyata. Karena sulit nrimo. Sehingga hidupnya justru ingin seperti orang lain. Bukan jadi dirinya sendiri.

 

Jadi, nrimo saja. Karena anugerah yang dicari itu adanya bukan di seberang sana, bukan di orang lain. Tapi ada dalam diri sendiri. Tidak perlu memaksa yang tidak penting. Apalagi memaksa kehendak pada orang lain. Agar kita tidak lupa. Bahwa dari sekian banyak pikiran dan rencana hebat. Pada akhirnya, pilihan terbaik adalah sikap nrimo, menerima apapun yang ada di hadapan kita. Lebih baik nrimo daripada nelonso. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *