Hanya 16,7 Persen Perusahaan Patuh Bayar Uang Pesangon Karyawan

Apapun alasannya, uang pesangon wajib dibayarkan oleh perusahaan kepada karyawan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pensiun. UU No. 6/2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja Pasal 156 ayat (1) dengan tegas menyebut: “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.” Aturan pesangon pun diperjelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021.

 

Sesuai regulasi, ada tiga komponen utama uang pesangon yaitu 1) uang pesangon (UP), 2) uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan 3) uang penggantian hak (UPH). Uang Pesangon (UP) mengacu pada kompensasi pokok yang dihitung berdasarkan masa kerja dan alasan berhenti bekerja, sementara Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) mengacu pada kompensasi yang diberikan untuk karyawan terkait masa kerja, dan Uang Penggantian Hak (UPH) sebagai penggantian hak-hak karyawan yang belum terpenuhi, seperti cuti tahunan yang belum diambil. Tabel acuannya bisa dilihat di kedua regulasi tersebut, baik UU No. 6/2023 atau PP No. 35/2021.

 

Bagaimana realisasi uang pesangon di Indonesia? Ternyata, tingkat kepatuhan perusahaan (pemberi kerja) atas pembayaran uang pesangon karyawan tergolong rendah. Estimasinya, kepatuhan pembayaran uang pesangon hanya 27,6% membayar sebagian dan hanya 16,7% yang membayar penuh atas jumlah uang pesangon sesuai aturan (Kemenkeu RI, 2025). Artinya, hanya 2 dari 10 karyawan yang dibayar uang pesangonnya sesuai regulasi. Padahal, uang pesangon ini berlaku hanya untuk “karyawan tetap”, yang berarti karyawan kontrak tidak eligible untuk mendapat uang pesangon.

 

Rendahnya kepatuhan perusahaan dalam membayar uang pesangon bukan tanpa alasan. Sebabnya, selama ini sebagian besar perusahaan hanya mencatat nilai kewajiban uang pesangon tapi tidak ada pendanaan khusus. Dana uang pesangon yang menjadi kewajiban perusahaan “tidak dipisahkan” dari kekayaan perusahaan. Pesangon hanya dicatat dan dibukukan tapi tidak didanakan. Konsekuensinya, saat terjadi PHK atau pensiun maka berpotensi besar “uang pesangon” tidak atau belum tersedia. Maka wajar, uang pesangonn yang menjadi hak karyawan hanya 16,7% yang dibayar penuh. Selebihnya wallahu a’lam.

 

Kita sepakat, setiap karyawan yang berhenti bekerja akibat PHK atau pensiun wajib mendapat uang pesangon. Tapi data lain menunjukkan, dari kejadian PHK atau pensiun, karyawan yang berhak atas pesangon sebesar 11,3%, namun yang benar-benar menerima pesangon hanya 3,2%, sedangkan yang uang pesangonnya dibayar penuh hanya 0,5%. Jadi, mau tidak mau, solusi atas kepatuhan perusahaan dalam pembayaran uang pesangon kepada karyawan adalah “mewajibkkan pendanaan uang pesangon” bagi perusahaan-perusahaan. Bukan hanya dicatat dan dibukukan tapi dididanakan melalui dana pensiun.

 

Kita tahu, tingkat loyalitas atau masa kerja karyawan bekerja di suatu perusahaan rata-rata 9 tahun. Sementara sebagian besar perusahaan atau pemberi kerja “berupaya” agar karyawan tidak pensiun di perusahaannya. Maka, apalagi yang bisa diharpankan selain membayar uang pesangon sesuai dengan aturan. Jadi, soal kepatuhan perusahaan membayar uang pesangon karyawan harus ditingkatkan. Wajib dan wajib!

 

Patut diingat, sistem ketenagakerjaan di Indonesia itu “tidak portabel”. Sebab masa kerja (termasuk uang pesangon) tidak bisa dibawa saat seseorang pindah tempat kerja, pindah skema, atau berubah status kerja. Itulah yang disebut “payung ajaib” (perlindungan karyawan yang Ajaib). Kalau portabel, “paying” ikut ke mana pun karyawan berjalan. Karena tidak portabel, “payungnya” nempel di kantor lama. Begitu karyawan resign atau berhenti kerja, ya bye-bye saja. Dan karyawan pun “kehujanan” lagi, mulai dengan “payung” baru.

 

Begitulahdunia kerja dan ketenagakerjaan. Pindah kerja, hak tidak ikut pindah. Ganti status kerja (karyawan tetap jadi freelance) maka perrlindungan hangus atau berhenti. Ganti program (misal dari program A ke program B) maka manfaat lama tidak bisa dibawa ke yang baru. Intinya, benefit karyawan pasti nyangkut di sistem lama. Begitulah seterusnya bagi karyawan yang sering pindah-pindah kerja. Rudi masa kerja, rugi perhitungan uang pesangon ditambah kepatuhan perusahaan bayar pesangon pun rendah.

 

Urusan ketenagakerjaan dan dana pensiun, mungkin sederhana saja. Cukup mencari cara untuk meningkatkan kepatuhan perusahaan dalam membayar uang pesangon yang jadi hak karyawan saat berhenti bekerja, entah akibat PHK atau pensiiun. Selain sudah diatur oleh regulasi, uang pesangon pasti dibayarkan perusahaan, cepat atau lambat. Masalahnya, uang pesangonnya ada atau tidak?

 

Kepatuhan membayar uang pesangon, itulah esensi tantangan dana pensiun dan ketenagakerjaan di Indonesia. Tidak masalah karyawan berhenti bekerja (akibat PHK atau pensiun), asal uang pesangon dibayar sesuai aturan. Di situlah, edukasi dana pensiun menjadi penting dilakukan. #YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun #UangPesangon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *