Kemarin saat lebaran, ada kasus pemotongan uang kompensasi terhadap sopir angkot di kawasan Puncak Bogor. Kompensasi itu diberikan oleh Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat agar sopir angkot tidak beroperasi sewaktu arus mudik lebaran. Tapi akhirnya berkembang isu “uangnya disunat” oleh oknum. Kadang suka nggak habis pikir, kok bisa ya? Begitulah mungkin yang disebut “mental miskin”.
Hati-hati dengan mental miskin. Karena pola pikir atau cara pandang kita cenderung terjebak pada rasa kekurangan. Bawaannya pengen “dapat jatah” cuma urusan uang doang. Akhirnya jadi lupa bersyukur, lupa kalua rezemi itu sudah dijamin sama Allah. Mental miskin itu lupa, asal niat baik dan ada ikhtiar, insya Allah dicukup. Apa masih nggak yakin? Sederhana sih, harusnya focus bukan pada kekuarangan tapi pada apa yang sudah dimiliki. Si oknum itu kan sudah kerja, nah supir angkot nggak boleh beroperasi maka dikasih kompensasi untuk biay hidup selama nggak narik. Kok kepikir untuk “nyunat” uang orang?
Mental miskin, biasanya terjado pada orang-orang yang suka membandingkan dirinya dengan orang lain. Lebih senang melihat kesuksesan orang lain daripada mensyukri apa yang dimiliki. Apalagi ditambah perilaku konsumtif dan bergaya hidup, jadilah mental miskin kia membabi buta. Mulailah untuk “mengusi” mental miskin, yang bawaannya minta-minta atau mengambil yang buka hak-nya.
Coba deh belajar dari kisah ini. Suatu kali seorang miskin bertanya, “Mengapa aku menjadi orang yang sangat miskin dan selalu mengalami kesulitan hidup? Lalu, sang guru menjawab, ”Karena engkau tidak pernah berusaha untuk memberi pada orang lain”.
“Tapi saya tidak punya apapun untuk diberikan pada orang lain?”, kata si miskin lagi.
Sang guru pun menjawab, ”Sebenarnya kamu masih punya banyak untuk kamu berikan pada orang lain”
“Apakah itu hai guru bijak ?” kata si miskin.
Sang guru dengan bijak menjawab sederhana. Lah, kita ini puya mulut, kenapa tidak dipakai untuk bisa memberikan senyuman dan pujian ke orang lain. Kita punya mata yang bisa memberikan tatapan yang lembut. Kita punya telinga yang bisa memberikan perhatian. Kita punya wajah yang bisa memberikan keramahan. Kita pun punya tangan yang bisa memberikan bantuan dan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan. Dan masih banyak lagi kok.
“Jadi sesungguhnya kamu bukanlah miskin hanya saja tidak pernah mau memberi pada orang lain. Itulah yang menyebabkan orang lain dan alam semesta juga tidak pernah mau memberikan apapun pada kamu” ujar sang guru.
“Ketahuilah, kamu akan terus miskin seperti ini jika kamu sama sekali tidak mau memberi dan berbagi pada orang lain. Siapapun akan merasa kekurangan dan tidak memiliki apapun dalam hidupnya karena tidak mau memberi, sekalipun hanya senyuman.”
”jadi, sekarang pulanglah dan berbagilah pada orang lain dari apa yang masih kamu punya. Agar orang lain dan alam semesta juga mau berbagi kepadamu dan hidupmu bisa berubah menjadi lebih baik.”
Seperti berkiprah sosial di taman bacana pun harus jauhi mental miskin. Bawaannya minta-minta. Kerjakan saja tiap perbuatan baik di taman bacaan, karena pasti bermanfaat untuk banyak orang. Menyediakan tempat membaca, mengajar calistung anak-anak kelas prasekolah, memberantas buta huruf, menjalankan motor baca keliling atau mengurus taman bacaan. Semuanya baik dan jadi ladang amal. Selebihnya, pasti Allah akan mudahkan dan cukupi kebutuhan taman bacaan. Jangan samapi bikin kegiatan di taman bacaan hanya karena ada uangnya. Ada tidak ada uang, taman bacaan harus terus berjalan dan punya aktivitas. Di situlah membutuhkan “mental kaya” di taman bacaan, selain komitmen dan konsistensi tentunya.
Maka hindari mental miskin. Agar lebih mudah bersyukur atas apa yang dimiliki. Latih bersyukur setiap hari dan dari yang kecil-kecil. Lalu ubah cara pandang kita tentang uang, tentang kesuksesan. Bergaulah dengan orang-orang yang sederhanan dan tidak mempertontonkan kemewahan. Rileks saja, karena apapun di dunia ini, semuanya sudah pantas dan cocok untuk kita. Jangan pelihara mental miskin. Salam literasi!