Mungkin hingga kini, masih ada yang memperdebatkan soal penting atau tidak pentingnya membaca? Agak naif, bila membaca diperdebatkan tanpa melakukannya. Membaca harusnya bukan bahan perdebatan. Tapi perbuatan, membentuk kebiasaan membaca di tengah hiruk pikuk gitalisasi dan kafe-kafe tempat nongkrong. Membaca di hari ini butuh keberanian, tidak lagi sekadar ketersediaan buku bacaan.
Susah dibantah, aktivitas membaca pasti punya manfaat banyak. Secara normatif, dikatakan membaca memiliki banyak ma fast. Diantaranya, karena membaca seseorang dapat mengembangkan intelektual dan memperluas wawasan. Ada pula yang berdebat, katanya membaca itu melatih pikiran dan meningkatkan kosakata. Sekali lagi, secara normatif, perbuatan membaca pasti punya dampak positif.
Adalah Joyce Carol Oates, salah satu penulis paling produktif di Amerika Serikat yang menyoroti kekuatan unik membaca. Sebab membaca, seseorang berpotensi melampaui batasan dirinya sendirim. Katanya, membaca, tidak hanya memahami kata-kata, tetapi juga merasakan pengalaman, emosi, dan perspektif dari penulis maupun tokoh-tokoh dalam cerita atau teks bacaan. Membaca adalah proses meditatif diri, sebuah proses batin yang menyelinap ke dalam “kulit” orang lain. Seolah-olah kita hidup dalam dunia orang lain, berbicara dengan suara mereka, dan memahami apa yang mereka rasakan. Karena membaca, siapapun lebih tenang dan penuh pertimbangan. Tidak sembrono atau ugal-ugalan seperti yang terjadi di banyak tempat hari ini.
Kenapa ada seorang satu keluarga “bunuh diri” akibat utang pinjol? Kenapa pula ada orang yang bersikap arogan dan merendahkan orang lain? Atau kenapa kita masih suka berpikir buruk tentang orang lain yang mungkin kita tidak mengenal sepenuhnya? Semua itu terjadi karena kita kurang membaca. Tidak mau membaca atau hanya gemar memperdebatkan seputar isi bacaan. Membaca, akhirnya jauh panggang dari api.
Masih kata Joyce Carol Oates, membaca kian menarik karena mampu menjadi jembatan atau penghubung seseorang lebih punya empati. Sebuah sikap penting untuk memahami dan menghargai perasaan dan pengalaman orang lain. Mau memahami apa yang dirasakan orang lain, berupaya melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, bahkan mampu memahami latar belakang, pengalaman, dan nilai-nilai yang dimiliki orang lain. Sikap empati itu sangat penting, untuk meredam egoisme, arogansi, dan perilaku subjektif yang menyelimuti banyak orang.
Harus diakui, saat kita membaca. Secara sengaja atau tidak, kita sering terbawa oleh alur cerita atau argumen dalam teks bacaan yang mungkin bertentangan dengan pandangan kita sendiri. Tidak setuju atas isi bacaan, ada rasa untuk menikah teks bacaan. Tapi justru di situ, terjadi dialog batin antara diri kita dengan penulianya. Tentang perbedaan sudut pandang, berbeda pemikiran. Ketika kondisi bernada itu terjadi, maka di situlah kita menemukan kebijaksanaan yang hakiki. Bahwa setiap orang memiliki kisah yang layak dipahami. Selalu ada cerita yang berbeda dan kita diminta untuk mengerti. Ada empati terhadap kisah siapapun.
Mungkin hari ini, banyak orang tidak lagi suka membaca. Karena membaca dianggap beban, membaca dianggap buang-buang waktu. Selain membosankan, membaca sering dituding tidak realistis. Banyak teks bacaan yang berbeda dengan realitas kehidupan. Kita sering lupa, justru di situ nikmatnya membaca. Membaca sesuatu yang ada di buku tapi nyatanya berneda dengan kisah nyata kehidupan. Lagi-lagi, batin kita sebagai pembaca dituntut untuk berdialog dan mengartikan semuanya.
Bagi yang gemar menulis, membaca justru dianggap sebagai magang. Kegiatan untuk terus belajar dan berlatih mengasah pikiran, di samping jadi pengalaman yang dapat memperkaya bahan tulisan. Karena sejatinya, tidak ada penulis yang lahir tanpa aktivitas membaca. Membaca dan menulis adalah dua sisi mata uang yang saling bersinggungan. Membaca tanpa menulis adalah hampa. Menulis tanpa membaca adalah kosong.
Sangat jelas, membaca pasti mengajak kita untuk memahami persfektif orang lain, utamanya si penulis. Dari bacaan itulah pada akhirnya, kita dapat membentuk gaya orisinal kita sendiri. Menemukan gaya sendiri dalam membaca dan gaya asli dalam menulis.
Membaca apapun, termasuk membaca kehidupan tidak akan pernah sia-sia. Selalu ada pelajaran dan hikmah dari membaca dan bacaan. Karena membaca bukan hanya aktivitas intelektual semata. Tapi memberi pengalaman transformasional untuk memperluas cakrawala dan memperkaya kemanusiaan kita. Membentuk sikap empati dan kepedulian yang lebih besar lagi. Tanpa disadari, betapa banyak orang yang berubah setelah gwmar membaca. Karena kita sering merasa menjadi orang yang berbeda setelah membaca sebuah buku yang menyentuh jiwa, membuncah kan hati nurani.
Seperti berkiprah di taman bacaan, bukan hanya mengajak anak-anak membaca. Tapi lebih dahsyat dari itu, membangunkan rasa kemanusiaan kita untuk anak-anak yang selama ini tidak punya tempat membaca. Sebuah sikal empati yang kini banyak ditinggalkan orang. Membaca bukan ingin jadi pintar. Tapi karena membaca kita. Akun mengerti kondisi dan keadaan orang lain.
Terlalu sederhana, melihat aktivitas membaca sekadar bertemunya pembaca dan teks bacaan di atas kertas. Justru membaca lebih banyak menciptakan ruang sentimental dan idealistik, untuk selalu bertanya. Siapa kita dan mau ke mana kita sebenarnya? Karena membaca itu batu loncatan siapapun untuk menjadi lebih baik, bukan lebih pintar. Selamat membaca! Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen