Kisah Nyata dari Taman Bacaan, Kenapa Cari yang Tidak Dimiliki?

Kisah Nyata Taman Bacaan

Seorang kawan yang kaya dan pekerja keras, hidupnya berkecukupan. Tiba-tiba pagi ini termenung di depan rumahnya. Enggan berangkat kerja. Katanya, dia lagi gelisah. Ada perasaan takut dan khawatir. Belasan tahun bekerja, kini mulai lelah dan merasa tidak menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Umur pun bertambah. Kesehatannya pun mulai menurun. Susah tidur karena banyaknya pikiran yang mengganggu.

Entah kenapa? Padahal selama ini, dia tidur di dalam kamar yang mewah. Kasur empuk bahkan kemana-mana pun memakai kendaraan. Nyaris tidak ada yahg kurang. Materi dan dunia sangat paripurna.
Di tengah lamunannya, kawan yang kawan yang kaya tadi melihat di media sosial, seorang pegiat literasi di taman bacaan. Selalu tersenyum dan tidak ada lelahnya menegakkan tradisi baca anak-anak kampung. Tiap kali ada aktivitas di taman bacaan selalu di-update. Hanya menemani anak-anak membaca, memotivasi dan ngobrol-ngobrol soal taman bacaan. Penuh komitmen dan konsisten dalam kepedulian sosial. Pegiat literasi di taman bacaan yang tidak ada capeknya, tetap semangat dan penuh keceriaan. Walau bukan tertawa terbahak-bahak. Hidupnya tidak mewah tapi rumahnya diikhlaskan jadi taman bacaan. Agar bermanfaat untuk orang banyak.

Pegiat literasi, yang terus berjuang untuk tradisi baca di era digital. Tidak ada tanda kesedihan di wajahnya. Rileks dan tetap sepenuh hati menjalankan taman bacaan hingga 5 tahun belakangan. Apapun kondisinya, dan berapa pun yang menentangnya.

Suatu kali, kawan yang kaya pun bertanya kepada si pegiat literasi. “Hai pegiat literasi, sebenarnya telah lama aku hidup di tengah kegelisahan. Padahalaku memiliki segalanya. Tapi, aku sungguh heran melihat kamu pegiat literasi. Selalu ceria berada di taman bacaan, seperti tidak ada gelisah dan khawatir. Hanya bergaul dengan buku-buku dan anak-anak yang membaca. Seperti tidak ada beban dalam hidupmu!”

Si pegiat literasi hanya tersenyum kecil. Dan berkata kepada di kawan yang kayaa. “Begini kawan, Anda gelisah atau tidak itu ada pada diri Anda. Bukan karena orang lain. Hidup itu isinya sikap, bukan hanya fakta. Karena hari ini banyak fakta yang dibuat dan direkaya. Maka tetaplah apa adanya, tidak perlu ikut rekayasa diri”.

Pegiat literasi pun melanjutkan nasihatnya. “Begini kawan, gelisah atau tidak. Bisa tidur nyenyak atau tidak, tergantung resep 99 dalam hidup. Misalnya ada seseorang, diberi secara cuma-cuma sekotak uang isinya 100 lembar lima puluh ribuan. Lalu dia membawa pulang kotak uang itu dengan gembira. Karena tidak pernah mendapat uang sebanyak itu sebelumnya. Tapi sesampai di rumah, dia menghitungnya bersama keluarga. Anehnya, jumlah uang di kotak itu hanya 99 lembar. Dihitung ulang berkali-kali, tapi tetap jumlahnya
99 lembar”.

Lalu apa yang terjadi? “Dia yakin, pasti ada 1 lembar uang yang jatuh. Maka dia pun mencari lembaran yang hilang. Sepanjang yang dilalui diperiksa lagi, mungkin jatuh di jalan. Bolak-balik tapi tetap dia tidak menemukan apa-apa”. Maka di rumah, orang yang mendapat hadiah iotu pun berwajah muram, sedih, dan gelisah memikirkan di mana uang 1 lembar itu terjatuh”.

Apa artinya cerita itu, kata si pegiat literasi? Jadi, begitulah kehidupan manusia. Padahal kita memiliki banyak hal. Namun selalu saja kita mencari yang tidak dimiliki. Orang itu sudah mendapatkan 99 lembar uang lima puluh ribuan secara cuma-Cuma. Tapi dia sibuk mencari 1 lembar yang hilang. Maka jadilah hati dan pikirannya gelisah. Hanya sibuk mencari sesuatu yang tidak dimiliki atau hilang. Hingga lupa mensyukuri 99 lembar uang sebagai anugerah yang diperolehnya.

Persis seperti saya, saya punya rumah dan dijadikan taman bacaan. Maka itulah yang saya syukuri dan saya jalankan sepenuh hati, Terserah apa kata orang lain. Karena jadi pegiat literasi dan berkiprah di taman bacana pun bagian dari anugerah Allah SWT. Itulah yang saya punya dan saya tidak mencari yang saya tidak punya. Tapi sayang, banyak orang tua atau orang lain masih tidak peduli kepada taman bacaan. Apa susahnya menyuruh anak-anak untuk membaca. Toh tidak bayar, tidak perlu beli buku atau tidak perlu mendirikan taman bacaan. Jadi syukuri saja yag ada dan bantulah apa yang bisa dilakukan agar anak-anak gemar membaca. Bukankah kita tidak perlu mendirikan sekolah untuk bisa mengajarkan anak-anak agar belajar?

Si kawan yang kaya pun terhenyak mendengar kisah itu. Dia merasa sadar akan kesalahannya selama ini. Kisah Nyata dari Taman Bacaan, Kenapa Cari yang Tidak Dimiliki?

Seorang kawan yang kaya dan pekerja keras, hidupnya berkecukupan. Tiba-tiba pagi ini termenung di depan rumahnya. Enggan berangkat kerja. Katanya, dia lagi gelisah. Ada perasaan takut dan khawatir. Belasan tahun bekerja, kini mulai lelah dan merasa tidak menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Umur pun bertambah. Kesehatannya pun mulai menurun. Susah tidur karena banyaknya pikiran yang mengganggu.

Entah kenapa? Padahal selama ini, dia tidur di dalam kamar yang mewah. Kasur empuk bahkan kemana-mana pun memakai kendaraan. Nyaris tidak ada yahg kurang. Materi dan dunia sangat paripurna.
Di tengah lamunannya, kawan yang kawan yang kaya tadi melihat di media sosial, seorang pegiat literasi di taman bacaan. Selalu tersenyum dan tidak ada lelahnya menegakkan tradisi baca anak-anak kampung. Tiap kali ada aktivitas di taman bacaan selalu di-update. Hanya menemani anak-anak membaca, memotivasi dan ngobrol-ngobrol soal taman bacaan. Penuh komitmen dan konsisten dalam kepedulian sosial. Pegiat literasi di taman bacaan yang tidak ada capeknya, tetap semangat dan penuh keceriaan. Walau bukan tertawa terbahak-bahak. Hidupnya tidak mewah tapi rumahnya diikhlaskan jadi taman bacaan. Agar bermanfaat untuk orang banyak.

Pegiat literasi, yang terus berjuang untuk tradisi baca di era digital. Tidak ada tanda kesedihan di wajahnya. Rileks dan tetap sepenuh hati menjalankan taman bacaan hingga 5 tahun belakangan. Apapun kondisinya, dan berapa pun yang menentangnya.

Suatu kali, kawan yang kaya pun bertanya kepada si pegiat literasi. “Hai pegiat literasi, sebenarnya telah lama aku hidup di tengah kegelisahan. Padahal aku memiliki segalanya. Tapi, aku sungguh heran melihat kamu pegiat literasi. Selalu ceria berada di taman bacaan, seperti tidak ada gelisah dan khawatir. Hanya bergaul dengan buku-buku dan anak-anak yang membaca. Seperti tidak ada beban dalam hidupmu!”

Si pegiat literasi hanya tersenyum kecil. Dan berkata kepada di kawan yang kaya. “Begini kawan, Anda gelisah atau tidak itu ada pada diri Anda. Bukan karena orang lain. Hidup itu isinya sikap, bukan hanya fakta. Karena hari ini banyak fakta yang dibuat dan direkayasa. Maka tetaplah apa adanya, tidak perlu ikut rekayasa diri”.

Pegiat literasi pun melanjutkan nasihatnya. “Begini kawan, gelisah atau tidak. Bisa tidur nyenyak atau tidak, tergantung resep 99 dalam hidup. Misalnya ada seseorang, diberi secara cuma-cuma sekotak uang isinya 100 lembar lima puluh ribuan. Lalu dia membawa pulang kotak uang itu dengan gembira. Karena tidak pernah mendapat uang sebanyak itu sebelumnya. Tapi sesampai di rumah, dia menghitungnya bersama keluarga. Anehnya, jumlah uang di kotak itu hanya 99 lembar. Dihitung ulang berkali-kali, tapi tetap jumlahnya
99 lembar”.

Lalu apa yang terjadi? “Dia yakin, pasti ada 1 lembar uang yang jatuh. Maka dia pun mencari lembaran yang hilang. Sepanjang yang dilalui diperiksa lagi, mungkin jatuh di jalan. Bolak-balik tapi tetap dia tidak menemukan apa-apa”. Maka di rumah, orang yang mendapat hadiah iotu pun berwajah muram, sedih, dan gelisah memikirkan di mana uang 1 lembar itu terjatuh”.

Apa artinya cerita itu, kata si pegiat literasi? Jadi, begitulah kehidupan manusia. Padahal kita memiliki banyak hal. Namun selalu saja kita mencari yang tidak dimiliki. Orang itu sudah mendapatkan 99 lembar uang lima puluh ribuan secara cuma-Cuma. Tapi dia sibuk mencari 1 lembar yang hilang. Maka jadilah hati dan pikirannya gelisah. Hanya sibuk mencari sesuatu yang tidak dimiliki atau hilang. Hingga lupa mensyukuri 99 lembar uang sebagai anugerah yang diperolehnya.

Persis seperti saya, saya punya rumah dan dijadikan taman bacaan. Maka itulah yang saya syukuri dan saya jalankan sepenuh hati, Terserah apa kata orang lain. Karena jadi pegiat literasi dan berkiprah di taman bacana pun bagian dari anugerah Allah SWT. Itulah yang saya punya dan saya tidak mencari yang saya tidak punya. Tapi sayang, banyak orang tua atau orang lain masih tidak peduli kepada taman bacaan. Apa susahnya menyuruh anak-anak untuk membaca. Toh tidak bayar, tidak perlu beli buku atau tidak perlu mendirikan taman bacaan. Jadi syukuri saja yag ada dan bantulah apa yang bisa dilakukan agar anak-anak gemar membaca. Bukankah kita tidak perlu mendirikan sekolah untuk bisa mengajarkan anak-anak agar belajar?

Si kawan yang kaya pun terhenyak mendengar kisah itu. Dia merasa sadar akan kesalahannya selama ini. Kenapa jadi gelisah dan tidak nyenyak tidur?

Karena jawabnya, “Selama ini aku kurang bersyukur dalam hidup. Hanya mencari yang belum aku miliki lalu lupa syukur dan berbagi atas segala anugerha yang sudah aku miliki”.

Jadi, itulah jawaban atas kegelisahan yang selama ini dirasakan si kawan yang kaya. Sebagai pelajaran yang berharga. Bahwa “Nikmat dan kebaikan Allah SWT telah dicurahkan begitu banyak kepada setiap orang. Dan porsinya sangat pantas untuk siapapun. Tapi sayang, banyak orang masih saja sibuk mencari, mencari, dan mencari yang belum dimiliki. Atau belum tentu ada untuknya.

Kita sering lupa. Gelisah tidak akan pernah datang kepada mereka yang kurang bersyukur. Bahagia itu omong kosong tanpa syukur dan berbagi kepada orang lain. Hargailah apa yang sudah dimiliki saat ini. Syukuri sekecil apapun nikmat yang telah Allah SWT, apapun alasannya. Salam literasi #PegiatLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *