Di sudut gang kecil di pinggiran kota, ada warung kopi sederhana dengan papan kayu yang mulai lapuk. Pemiliknya, Pak Rahmat, lelaki berusia 62 tahun, setiap pagi menyapu halaman depan, menyusun kursi plastik, dan menyiapkan air panas untuk warung kopi tubruk yang jadi andalannya sekarang. Warung itu tak pernah benar-benar ramai, tapi cukup untuk menyambung hidupnya di masa pensiun.
Sejak muda, Pak Rahmat bukan pengusaha. Selama lebih dari 30 tahun, ia bekerja sebagai staf di perusahaan logistik. Ia bukan orang yang suka banyak bicara. Ia bekerja dalam diam, datang pagi sebelum bos datang, dan pulang setelah jam kerja selesai. “Yang penting kerja halal,” katanya dulu kepada anak-anaknya.
Perusahaannya tidak menyediakan program pensiun. Bahkan, jaminan hari tua pun tidak masuk dalam kontrak kerjanya. Saat bekerja, ada ajakan untuk ikut iuran sukarela menjadi peserta DPLK secara individual. Tapi Pak Rahmat selalu merasa uangnya belum cukup. Gaji yang pas-pasan membuat ia lebih memilih memenuhi kebutuhan harian daripada menyisihkan untuk masa tuanya. “Aku ini orang kecil. Gaji aja ngepas. Masa mikir pensiun?” katanya pada istrinya, Bu Lilis, saat sedang menyusun belanja bulanan. Mereka membesarkan tiga anak,. semuanya sekolah negeri, sederhana tapi cukup. Biaya sekolah, beras, listrik, sesekali sakit. Uang selalu habis sebelum tanggal tua datang.
Waktu terus bergulir. Saat usia Pak Rahmat menginjak 58 tahun, perusahaan tempatnya bekerja mulai mengurangi karyawan tetap. Ia termasuk yang “diminta memahami situasi.” Tanpa pesangon besar, hanya ucapan terima kasih dan surat referensi seadanya. Ia pulang membawa kardus kecil berisi dokumen pribadi, berkas kerjanya, dan beberapa kenangan.“Kamu mau kerja apa sekarang?” tanya Bu Lilis pelan di rumah. Pak Rahmat tidak menjawab. Ia hanya memandang kosong ke langit-langit kamar.
Beberapa bulan setelahnya, dengan sisa tabungan, mereka membuka warung kopi kecil. Harapannya sederhana, biar ada pemasukan meski sedikit. Usaha kecil-kecilan. Awalnya semangat. Beberapa tetangga suka mampir. Tapi kopi sachet tidak bisa bersaing dengan kafe modern yang semakin marak di mana-mana. Anak-anak muda sekitar rumahnya lebih suka ngopi sambil wi-fi.
Anak-anak Pak Rahmat kini sudah berkeluarga, tapi penghasilannya pas-pasan. Mereka membantu sebisanya. Sementara Pak Rahmat merasa gengsi untuk bergantung kepada anaknya. Ia selalu berkata, “Ayah masih kuat, kok. Biar usaha warung kopi saja.” Sampai suatu hari, Bu Lilis jatuh di dapur. Kakinya bengkak dan dokter menyarankan fisioterapi rutin. Biayanya tidak sedikit. Obat-obatan makin mahal. Sementara pemasukan dari warung bahkan tidak cukup untuk bayar listrik dan gas. Satu per satu perabot dijual. TV, kipas angin, bahkan sepeda motor tua yang dulu dipakainya untuk bekerja.
Malam itu, Pak Rahmat duduk sendiri di warung yang sudah sepi. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. Matanya menatap kosong ke jalan. “Andai dulu aku nyisihin sedikit tiap bulan walau cuma seratus ribu. Mungkin sekarang aku nggak begini,” bisiknya lirih. Ia menyesal di masa pensiun, karena tidak punya uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Sayang, waktu tidak bisa diputar ulang. Pak Rahmat harus menjalani kehidupan sehari-harinya dengan kesulitan, uang selalu jadi masalah di hari tuanya.
Kisah Pak Rahmat di masa pensiun, hanyalah satu dari banyak pekerja yang tidak menyadari pentingnya perencanaan pensiun. Akibat tidak punya dana pensiun saat bekerja. Bagi pensiunan, hari tua datang begitu cepat dan tanpa persiapan. Masa pensiun bukan jadi waktu istirahat tapi awal dari perjuangan baru.
Pelajaran dari kisah Pak Rahmat, ternyata dana pensiun bukan pilihan, tapi kebutuhan untuk hari tua. Masa pensiun bukan soal waktu tapi soal mau seperti ap akita di hari tua? Maka mulailah sedini mungkin persiapkan masa pensiun. Karena iuran kecil hari ini untuk pensiun akan jadi ketenangan besar di masa pensiun. Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun #DanaPensiun