Laporan Asian Development Bank (ADB) bertajuk “Aging Well in Asia” (Mei 2024) mengungkap kalau 50% penduduk lansia (+60 tahun) atau bisa disebut pensiunan di Indonesia mendapat penghasilan dari transferan keluarga dan anak-anaknya. Artinya, 1 dari 2 lansia yang ada sangat mengandalkan transferan anaknya untuk biaya hidup. Kondisi ini tentu menjadi keprihatinan tersendiri atas kehidupan kaum lansia di hari tua atau pensiunan ketika sudah tidak lagi bekerja.
Tidak punya dana pensiun dan tidak memiliki perencanaan hari tua dianggap jadi penyebabnya. Minimnya literasi keuangan dan kesiapan untuk menghadapi masa pensiun di kalangan masyarakat menjadi salah satu isu penting yang disorot oleh ADB. Dalam skala luas, ditemukan pula bahwa 40% masyarakat lansia di Asia-Pasifik tidak punya dana pensiun, yang membuat mereka punya ketergantungan tinggi terhadap transfer dari keluarga atau anak. Tercatat ⅓ sampai ⅔ penghasilan lansia di sebagian besar negara berasal dari transferan keluarga atau anaknya.
Menariknya, bukan terletak pada survei-nya. Tapi justru komentar yang diberikan netizen terhadap hasil survei “Aging Well in Asia” dari ADB. Dalam postingan Instagram GoodStats (https://www.instagram.com/p/DByDVKQza43/), Syarifudin Yunus selaku edukator dana pensiun DPLK SAM menyimpulkan terdapat 23% komentar bernada “positif”, sedangkan 77% bernada “negatif”. Survei atas komentar ini dilakukan terhadap 30 komentar pertama yang terdapat pada postingan tersebut.
Di antara komentar yang bernada positif, antara lain; “Kita bukan bahas mengenai hak & kewajiban, Atau mengenai agama dll. Tetapi kita concern mengenai FINANCIAL LITERACY/LITERASI KEUANGAN. Kalau setiap orang tua bijak dan memahami bidang ini, Maka ada harapan, GENERASI BERIKUTNYA AKAN LEBIH BAIK”. Ada pula komentar positif lainnya, mebyebut “Nenek gua menolak ditransfer cucu/anaknya, dampak rajin menabung, deposito dimana2 punya kontrakan 10 kamar, padahal di umur 20 tahun masih jadi pembantu, dan kakek gua supir bus trayek”. Komentar ini dianggap positif karena berpihak pada konsep “kemandirian finansial” orang tua di masa pensiun.
Sedangkan komentar negatif lebih dominan, mungkin karena cara pandang yang belum berubah sekaligus masih “abu-abunya” persepsi tentang “anak sebagai investasi orang tua”. Contoh komentar negatif antara lain: “Salah satu yang membuat rezeki seret itu, PELIT SAMA ORANGTUA”. Ada pula yang menyatakan “Banyak anak, banyak Rezeki”, mungkin ini yg d maksud, Orang tua jadul mah gitu, smg otru sekarang nggak mnggantungkan hidup ke anak2nya, krn sdh memiliki dana pensiun dan tabungan utk hari tua”.
“Ini semua terjadi karena mindset kebanyakan orang tua yang menganggap anak sebagai investasi pensiunan mereka. Yg kesel dari pemikiran orang² zaman dulu, anak adalah investasi, anak blm punya apa-apa udah disuruh nikah, sementara dia juga berharap anaknya nanggung kehidupan ortu juga”
“Komen-komennya pada kenapa sih, sudah sewajarnya kita sebagai anak membantu orang tua, orang tua sudah waktunya istirahat dan tenaganya tidak sekuat anak anaknya. Mereka bergantung ke pada siapa lagi kalau bukan anaknya, apa tidak kasian melihat orang tua kalian kerja di waktu tua”.
Mencermati komentar-komentar survei “Aging Well in Asia” tersebut, sebenarnya tidak semestinya diperdebatkan dalam konteks hubungan orangtua vs anak. Melainkan isu penting pada soal “kemandirian finansial orang tua” di masa pensiun. Karena itu, diperlukan perencanaan hari tua bagi setiap pekerja untuk masa pensiunnya. Karena bila tidak, maka mata rantai untuk orang tua yang pensiun bergantung kepada anak-anaknya sulit untuk diputus. Jujur saja, ketika anaknya mampu tidak masalah membantu orang tua. Tapi bagaimana bila anaknya tidak mampu?
Pentingnya dana pensiun atau perencanaan hari tua, justru dapat memutus “sandwich generation” di Indonesia. Di mana kelompok orang dewasa yang bekerja (berusia antara 30 hingga 50 tahun) berada di tengah-tengah tanggung jawab dan beban ekonomi untuk 1) merawat orang tua yang sudah lanjut usia, 2) menghidupi dan membesarkan anak-anak, dan 3) menafkahi pasangan dan keluarga inti sehari-hario. Pekerja yang “terjepit” di antara dua generasi yang sama-sama membutuhkan dukungan, baik secara finansial, emosional, maupun fisik.
Sandwich generation pasti memiliki anak-anak yang masih membutuhkan biaya pendidikan dan pengasuhan. Masih punya orang tua lanjut usia yang membutuhkan perhatian atau biaya hidup dan Kesehatan, Dan akhirnya mengalami tekanan finansial, karena harus mengatur keuangan untuk dua arah (ke atas, ke bawah, dan ke pasangan). Risikonya, terkena beban emosional dan stres akibat tanggung jawab triple. Sementara faktanya, tidak sedikit anak-anak yang masih sulit menabung untuk masa pensiun karena kebutuhan biaya hidup yang semakin membengkak dari tahun ke tahun.
Survei yang menyebut separuh dari penduduk lansia atau pensiunan di Indonesia sangat mengandalkan transferan keluarga dan anak-anaknya, tentu bukan untuk diperdebatkan dari sisi “anak sebagai investasi orang tua”. Akan tetapi harus dimaknai akan pentingnya pekerja atau orang tua untuk menyiapkan kemandirian finansial di hari tua, sehingga tidak lagi bergantung kepada keluarga atau anak-anaknya. Karena itu, harus ada keterlibatan negara untuk meningkatkan literasi keuangan khususnya dana pensiun kepada masyarakat, di samping pentingnya kampanye #SadarPensiun bagi pekerja di Indonesia. Untuk masa pensiun yang lebih baik, yang tidak bergantung kepada anak-anaknya. Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun #DPLKSAM