Soal distribusi bansos (bantuan sosial) sempat jadi bahasan di debat Capres terakhir minggu lalu. Apalagi ada tendensi, Presiden Jokowi yang turun tangan langsung membagikan bansos dikesankan sebagai “alat kampanye” terhadap paslon capres-cawapres tertentu. Belum lagi soal sebegitunya Presiden harus bagi-bagi bansos. Apa tidak ada menteri, aparatur daerah yang kompeten untuk membagikan bansos dari negara?
Terlepas dari soal kepentingan politik siapapun, jelas-jelas soal distribusi dan tata kelola bansos di republik ini memang harus diperbaiki. Dioptimalkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat yang membutuhkan bansos. Bukan untuk pencitraan personal atau seremoni yang sifatnya tidak esensi. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada negara, siapa yang dapat memastikan orang-orang penerima bansos di daerah yang dikunjungi presiden atau yang ditayangkan di televisi adalah benar-benar rakyat yang “sangat berhak’ menerima bansos? Siapa yang jamin validitas datanya?
Bansos itu banyak ragamnya. Ada PKH, ada BLT, ada kartu sembako, ada bantuan pangan, subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi KUR, dan lainnya. Anggarannya pun gila-gilaan sampai Rp. 496 triliun dari APBN tahun 2024. Pertanyaannya sederhana, jadi yang dibagi-bagi itu jenis bansos apa? Apa jaminan data penerimanya valid? Bila masih ada keraguan tentang bansos, maka di situ jelas menyiratkan pentingnya tata kelola bansos harus dibenahi.
Sejatinya, bantuan sosial (bansos) itu kewajiban negara terhadap rakyat berhak mendapatkannya. Bukan bantuan pemegang jabatan presiden atau personal pejabat kepada rakyat. Jangan sampai bansos dijadikan alat pencitraan atau seolah-olah dari presiden. Maka harusnya, distribusi bansos pun dilakukan melalui instrumen aparatur negara, dari pusat hingga desa atau RT/RW. Jika pun perlu seremoni, sebagai pembuktian, pejabat negara hanya menyaksikan. Bahwa distribusi bansos sudah benar-benar terjadi dan valid.
Masalah bansos itu masih banyak. Soal data warga yang patut menerima, validitasnya belum sesuai. Silakan cek di banyak daerah. Artinya data yang ada harus diverifikasi, Sola layak tidaknya penerima bansos. Soal cara distribusi bansos melalui instrumen negara pun harus diberdayakan. Jangan kesannya negara ini nanti ada pemimpin yang peduli dan tidak peduli. Padahal, bansos milik negara bukan pemimpin. Belum lagi soal cara distribusi yang tidak benar, di jalanan di lapangan? Apa iya begitu bagi-bagi bansos. Bahkan bisa jadi di bansos terdapat “mal-administrasi” akibat salah orang. Yang seharusnya menerima malah tidak menerima bansos. Sebaliknya, yang seharusnya tidak patut menerima malah dikasih bansos?
Sekadar saran dan untuk ke depan. Janganlah bagi-bagi bansos seperti yang dilakukan Presiden Jokowi. Gunakan instrumen dan aparatur negara untuk melakukannya. Biar bagaimana pun, harusnya yang tahu keadaan warga yang sebenarnya adalah aparatur terbawah. Yaitu RT/RW atau desa/kelurahan.
Suka tidak suka, tata kelola bansos di republik ini memang harus diperbaiki. Agar tidak dijadikan politik pencitraan atau kepentingan politik tertentu. Belum lagi soal, orang miskin memang harus dibantu tapi dengan cara-cara yang etis. Tata kelola bansos harus diperbaiki agar efektif dan efisien untuk rakyat yang memang seharusnya menerima bansos. Jadi soal bansos, spirit tata kelolanya adalah HARUS 1) tepat orang, 2) tepat waktu, 3) tepat administrasi, 4) tepat tempat, dan 5) tepat jumlah. Prinsip 5T (Tepat) wajib diterapkan di bansos. Maka jangan bagikan bansos, bila kelima prinsip itu masih ada cacatnya.
Yah, ini sekadar catatan saja soal bansos. Boleh setuju, boleh tidak setuju. Silakan bila punya pandangan dan pendapat lain. Kan katanya demokrasi … Salam literasi bansos!