Literasi Belanja online, Ternyata 80% Barang di Keranjang Nggak Jadi Dibeli

Hari ini perilaku masyarakat dalam berbelanja sudah mengalami perubahan signifikan. Laporan dari Google, Temasek, dan Bain & Company (2023) menyebutkan bahwa 80% konsumen di Indonesia lebih memilih berbelanja online dibandingkan offline. Bahkan kini, konsumen lebih selektif dalam memilih produk, mengandalkan ulasan dan rating sebelum memutuskan untuk membeli. Selain metode pembayaran yang beragam, cara bayar cicilan pun lebih digemari masyarakat. Lalu, bagaimana anatomi belanja online masyarakat Indonesia?

 

Dari hasil liputan ke lapangan dan mewawancarai 10 anggota masyarakat yang terbiasa berbelanja online, diperoleh informasi anatomi belanja online sebagai cermin proses perjalanan belanja via e-commerce. Sekitar 80% konsumen ternyata memiliki tahapan belanja online yang mencakup 1) berkunjung ke situs belanja via gawai, 2) melakukan esplorasi produk sesuai keperluan, 3) mengambil keputusan dengan memasukkan ke keranjang, 4) membayar belanjaan, 5) pembelian selesai, 6) mengecek status pembelian, 7) pengiriman yang selalu dipantau, dan 8) pasca-pembelian, dengan membri komentar atau tanda bintang.

 

Menariknya dari belanja online diperoleh data perkiraan persentase dari tiap tahapan hingga terjadi pembelian. Dari kunjungan ke situs belanja, sekitar 30% konsumen langsung mencari produk pilihannya. Hanya 10% konsumen yang tidak jadi membeli barang yang sudah masuk ke keranjang, sedangkan 80% konsumen membayar belanjaan dari daftar yang sudah ada di keranjang. Akan tetapi, tingkat keranjang yang ditinggalkan (tanpa dibeli) tergolong sangat tinggi, bisa mencapai 80%. Sementara konsumen yang memberi komentar atau tanda bintang setelah menerima barang mencapai 50%. Tentu saja, persentase ini bersifat rata-rata dan bisa berbeda berdasarkan kategori produk, platform, dan perilaku konsumen lokal.

Saat ditanya tentang sebab gemar belanja online, sebagian responden liputan menyebut 60% karena mudah dan nyaman. Belanja bisa kapan saja, di mana saja. Tidak perlu ke toko fisik, bisa dilakukan lewat ponsel sambil rebahan, sedangkan karena harga dan promosi seperti diskon dan gratis ongkir mencapai 50%. Selebihnya, kegemaran belanja online disebabkan oleh aspek emosional dan psikologis karenanya banyak e-commerce sengaja mendesain aplikasi dengan “trigger emosional” ini agar pembelian impulsif meningkat. Selain itu karena adanya pilihan yang luas dan akses informasi serta faktor tren sosial dan budaya sehingga belanja online dianggap bagian dari gaya hidup digital. Banyak orang tergoda belanja online karena ada promo dan kenyamanan.

 

Tren lain yang mulai berkembang adalah meningkatnya preferensi terhadap pengalaman belanja yang lebih interaktif. Fitur live shopping dianggap membantu konsumen menemukan produk yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini membuktikan belanja online tidak hanya sekadar tempat berbelanja, tetapi juga menjadi bagian dari gaya hidup digital masyarakat yang terus berkembang pesat.

 

Karena itu, sebagai antisipasi terhadap belanja online diperlukan pengetahuan dan edukasi yang memadai. Jangan sampai konsumen terjebak pada harga barang atau kemudahan semata. Tapi jauh lebih penting untuk membeli barang sesuai kebutuhan, bukan keinginan. Belanja harus sesuai kemampuan, bukan sesuai kemauan.

 

Memang penetrasi internet yang pesat, ternyata berkonsekuensi terhadap perubahan pola konsumsi masyarakat. E-commerce atau belanja daring kian menguat akibat kemudahan akses terhadap layanan digital. Bahkan kini sebagian besar masyarakat semakin terbiasa dengan transaksi digital. Maka wajar, Indonesia menjadi salah satu pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara.  Lebih hebat lagi, industri e-commerce di Indonesia tumbuh sangat pesat. Nilai transaksi e-commerce di Indonesia tahun 2024 mencapai Rp487 triliun (Kemdendag RI). Selain itu, tingkat penetrasinya mencapai 21,56% dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 34,84% pada tahun 2029 (Statista, 2024).

 

Menariknya, sebagai bagian dari meningkatkan kemampaun liputan dan penulisan dalam mata kuliah Jurnalistik yang diampu dosen Dr. Syarifudin Yunus, M.Pd, mahasiswa PBSI Unindra Semester VII Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Universitas Indraprasta PGRI menyiapkan penerbitan buku kumpulan liputan jurnalistik “Anatomi Belanja Online: Dari Klik Ke Keranjang” yang akan terbit di minggu ke-4 Desember 2025 ini. Buku ini sebagai bagian upaya meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam memahami cara kerja jurnalistik, di samping belajar secara teoretik. Mahasiswa jadi tahu cara meliput dan menulis berita atas dasar data dan fakta di lapangan serta menyajikan informasi secara layak. Di balik buku ini, mahasiswa belajar jurnalistik sambil menuliskan dan mempublikasikannya sebagai bukti berrproses jurnalistik sesuai kemampuannya.

 

Buku “Anatomi Belanja Online” menjadi sebuah gambaran perilaku belanja online di masyarakat Indonesia. Faktaya, 80% konsumen di Indonesia lebih memilih berbelanja online dibandingkan offline. Buku ini menyajikan hasil penelusuran lapangan tentang platform yang paling banyak digunakan belanja online, perilaku impulsif, bahkan 70% pembelanja merasa menyesal setelah membeli. Hebatnya lagi, 80% konsumen mampu bertransaksi online 3-4 kali sebulan. Atas sebab itu, 75% masyarakat mengalami peningkatan frekuensi belanja online atau setara Rp100.000 hingga Rp500.000 per bulan. Lalu, kapan waktu yang sering digunakan untuk belanja online?

 

Sebagai antisipasi terhadap perilaku belanja online, masyarakat perlu memiliki pengetahuan dan edukasi yang memadai. Jangan sampai konsumen terjebak pada harga barang atau kemudahan semata. Tapi pastikan membeli barang karena kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Belanja prinsipnya harus sesuai kemampuan, bukan sesuai kemauan. Jadi, bijaklah berbelanja online….

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *