Suatu kali, saya diundang untuk menjadi narasumber diskusi ilmiah tentang “Literasi” yang diikuti mahasiswa S3 Pendidikan Bahasa Pascasarjana UNJ. Ikut hadir 2 guru besar-nya yang memberi respon positif akan aktivitas literasi yang dijalankan TBM Lentera Pustaka, yang notabene hanya pendidikan nonformal.
Justru bukan soal literasi di taman bacaan yang saya mau bahas. Tapi soal “kesadaran kampus” dalam membuka ruang diskusi tentang literasi itu yang penting. Karena memang, seharusnya lembaga pendidikan formal (baik kampus maupun sekolah) yang punya “power” lebih kuat. Agar literasi bisa lebih membumi, lebih berdaya. Sayangnya, sebagian besar lembaga formal itu justru kurang punya kesadaran kolektif soal literasi.
Bila literasi itu dimaknakan “keterampilan yang bersifat individual”, mau tidak mau, efektivitasnya terletak pada pendidikan formal. Karena ada “paksaan” untuk ber-literasi. Sehingga semangat gerakan literasi bisa eksis sceara efektif di kampus atau sekolah.
Menurut saya, semua persoalan individual bahkan bangsa ini sangat bisa dicarikan solusi dengan baik. Asal “tingkat literasi” orang-orangnya memadai. Jika tidak, ya apa boleh buat?
Kasus anggota TNI yang berniat baik mau memisahkan orang yang berkelahi kok malah dia yang dikeroyok oleh ormas. Belum lagi soal remeh-temeh yang seharusnya tidak jadi masalah, malah jadi “soal besar” di negeri ini. Itu semua sumbernya karena “tingkat literasi-nya” bukan?
Jadi buat saya, literasi ada bukan untuk menjadikan orang pintar. Apalagi jadi pandai bertanya atau berpikir kritis. Kejauhan literasi model begitu mah. Literasi itu cukup untuk mengingatkan kepada siapa pun untuk berpikir dan bertindak lebih baik dari sebelumnya. Untuk memperkokoh karakter baik yang dibutuhkan bangsa dan masyarakat ini. Agar nasionalisme, religius, integritas dan tetek bengek itu bukan hanya jargon. Tapi realitasnya “kosong”.
Bila literasi itu targetnya menjadikan “manusia literat”. Ya berarti manusia yang mau dan berani berubah ke jalan yang lebih baik. Bukan cuma kayak penonton film, yang akhirnya “begini-begini saja atau begitu-begitu aja”. Film-nya diproduksi ber-episode-episode. Penontonnya ya gitu-gitu aja. Nggak tahu apa yang dijadikan pelajaran?
Kadang kita suka lupa. Bangsa yang maju atau masyarakat yang berkembang itu bukan karena kurikulum pendidikan-nya hebat. Bukan pula karena sistem ketatanegaraannya yang keren. Tapi justru tergantung pada “kemampuan literasi orangnya”.
Yah begitulah nasib “si literasi” di negeri ini. Sebut saja “literasi meneketehe” (baca: mana kutahu). Entah, akan bagaimana ke depannya? Salam literasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #DiskusiLiterasi