Sebut saja, zaman nongkrong. Di mana-mana selalu ada tempat nongkrong. Di kafe-kafe, di tempat ngopi, atau di resto. Namanya nongkrong, kegiatan berkumpul di suatu tempat untuk mengisi waktu luang. Berarti ada waktu luang. Orang banyak sering menyebut nongkrong sama dengan kongkow atau hang out dan sejenisnya. Yah, siapa sih yang tidak tahu nongkrong?
Nongkrong, tentu boleh-boleh saja. Siapapun boleh nongkrong. Apalagi bila nongkrongnya positif. Bahas isi buku, bahas apa saja yang intinya kebaikan. Nongkrong yang lebih banyak masalah daripada mudarat. Nongkrong yang manfaat bukan yang maksiat. Nongkrong yang literat, karena berkumpul sambil santai tapi konten-nya positif.
Tapi faktanya, tidak semua nongkrong itu positif. Bahkan mungkin lebih banyak negatif dan mudarat-nya. Karena nongkrong, di manapun, justru dipakai untuk ngomongin orang, ngomongin negara dan pemimpinnya tapi dari sisi negatifnya saja. Apalagi zaman begini, tidak sedikit orang yang nongkrong justru hanya untuk pamer, gaya hidup, hedonis, dan membiasakan perilaku konsumtif. Jadinya, lebih besar pasak daripada tiang. Terbuai sama kebiasaan nongkrong.
Literasi nongkrong jadi diperlukan. Agar nongkrong lebih bermanfaat, bukan maksiat. Untuk apa nongkrong, bila ujungnya hanya gibah, fitnah atau gosip. Nongkrong hanya untuk hura-hura atau dibilang hidup lebih bergaya. Nongkrong yang tidak berguna. Buang-buang uang dan tidak produktif. Nongkrong yang isinya kejelekan dan kesia-siaan. Hati-hati, bila terlibat pada nongkrong yang model begitu.
Nongkrong-lah bila diisi dengan hal-hal yang positif dan baik. Nongkrong yang bisa menambah pengetahuan. Nongkrong yang mencerahkan pikiran dan sikap untuk bertindak lebih positif. Nongkrong sebagai bagian dari literasi. Agar bisa lebih menghargai dan menyadari. Bahwa apa yang ada di dunia itu hanya sementara. Sehebat apapun, tidak ada yang kekal di dunia selain amal ibadah. Literasi nongkrong yang menjadikan orangnya lebih baik, bukan lebih buruk.
Seperti tempat nongkrong di Rooftop Baca TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Nongkrong sammbil membaca buku atau memegang buku minimal. Sambil saling bernasihat kebaikan untuk menebar manfaat kepada orang banyak. Nongkrong atas dasar kemanusiaan dan kepedulian. Nongkrong mensyukuri kebesaran Allah SWT karena bisa menyaksikan view Gunung Salak yang indah dan megah. Nongkrong di tempat tinggi yang tidak perlu merasa tinggi. Itulah substansi literasi nongkrong.
Agak aneh saja. Bila ada yang nongkrong tapi isinya omelan alias ngedumel. Orang lain, pemimpin, dan negara diomelin. Di mata si tukang nongkrong, semua yang dilakukan orang lain salah. Hanya dia sendiri yang benar. Mungkin terlalu sering nongkrong bareng malaikat. Bangsanya sendiri dijelek-jelekin. Orang lain dibenci dan disalah-salahkan. Nongkrong jadi media untuk berkeluh-kesah dan mengumbar prasangka buruk ke orang lain. Itu mah nongkrong yang tidak literat. Mau sampai kapan, nongkrong model begitu?
Orang tukang nongkrong suka lupa ya. Nongkrong itu tidak boleh egois. “Merasa benar sendirian, sementara orang lain salah”. Nongkrong itu filosofinya membangun empati, menebar toleransi. Selalu menghargai orang lain, apapun kondisinya. Agar melatih mindset tentang cara menjalin hubungan baik, menjaga keharmonian. Seperti orang dagang, jual beli itu terjadi bila ada harmoni, ada sikap saling menghargai. Jual beli itu terjadi karena ada pengertian dan kerjasama, bukan sebaliknya.
Jadi, nongkrong pun harus literat. Untuk menghindari cara berpikir yang menyebut “saya lebih suci dari orang lain”. Dan yang terpenting, nongkrong itu bukan tergantung pada penampilan, pakaian atau aksesori dandanan. Nongkrong, hanya butuh otak dan akal sehat. Agar lebih berkualitas, lebih maslahat. Itulah literasi nongkrong. Salam literasi. #LiterasiNongkrong #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka