Banyak kawan komplain. Katanya, macet di Jakarta justru makin parah di bulan puasa. Apalagi jam pulang jam kantor, jelang waktu berbuka puasa alias maghrib. Hampir tidak bergerak di jalanan. Bahkan tidak sedikit pekerja yang terpaksa berbuka puasa di jalan. Akibat macet yang kian parah.
Macet, padatnya kendaraan di jalan raya. Memang sulit diurai, sudah dipecahkan di Jakarta. Seperti penyakit yang “hampir” tidak ada obatnya. Ibarat pepatah bak “angin berputar ombak bersabung”. Macet, suatu perkara yang tidak mudah. Soal di kota Jakarta yang sulit dipecahkan. Jakarta memang kota megapolitan, kota hebat di mata banyak orang seantero nusantara. Tapi dalam urusan macet, Jakarta harus mengakui “kekurangannya”. Harus sadar jadi kota yang tidak nyaman untuk pengendara di jalanan.
Jakarta boleh dibangga-banggakan sudah berhasil ini dan itu. Bahkan “dijual” sebagai alat perjuangan politik untuk menaikkan “panggung” kandidat presiden. Menganggap semua yang dikerjakan di Jakarta berhasil. Tapi untuk urusan macet, Jakarta boleh disebut kota yang mengerikan. Macet yang kian parah. Tentu, sangat merugikan dari nilai ekonomis. Berapa uang yang “dibakar” di jalan-jalan di Jakarta?
Mengatasi kemacetan di Jakarta, sepertinya tidak ada formula yang paling pas. Three inone sudah di coba, ganjil-genap sudah diterapkan. Imbauan memakai moda transportasi umum pun terus disosialisasikan. Tilang elektronik alias ETLE pun sudah implementasi. Terus, mau apalagi? Sudah bergonta-ganti gubernut, macet di Jakarta belum ada solusinya. Siapapun di Jakarta, harus terus bersabar di jalanan. Harus terus ikhtiar untuk lebih sadar saat di jalan. Terus berjuang mencari cara yang lebih efektif atasi kemacetan.
Katanya, macet itu terkait urusan perut. Mau makan apa bila tidak kerja? Berangkat pagi pulang larut. Untuk sesuap nasi. Apalagi ditambah tanggungan di rumah, harus menafkahi 3 atau 4 orang. Sekaligus cerminan tanggung jawab atas pekerjaan. Hingga terjebak pada rutinitas kerja. Agar punya uang yang cukup, pangkat yang lumayan, dan status sosial yang tinggi. Tentu, sangat bisa dimaklumi. Hingga macet tidak lagi dipedulikan. Padahal, karena macet. Tidak sedikit orang yang stress, sakit hingga gelisah. Jadi, mau apa lagi kita dengan macet?
Seperti semangat bulan puasa, macet pun harus dijalani dengan tawadhu dan istikomah. Tetap sabar dan bersyukur atas kemacetan. Apalagi nanti, saat arus mudik berlangsung. Macet adalah hal yang biasa. Tidak ada yang salah dengan macet. Semuanya benar, atas dasar alasannya masing-masing. Asal saat macet, harus tetap seimbang anatar hati dan logika. Agar tidak merasa serba salah saat di jalanan.
Jakarta memang indah lagi sibuk. Makanannya pun enak-enak. Orang-orangnya pun katanya ramah. Tapi harus tetap bersahabat dengan kemacetan. Sebagai bukti bahwa bikin aturan memang mudah. Omongan pun gampang. Tapi yang susah itu menerapkannya dengan baik.
Maka, siapapun harus tetap menyenangkan bila terjebak dalam kemacetan lalu lintas di mana pun. Salam literasi. #KotaJakarta #CatatanRamadan #TBMLenteraPustaka