Motivasi Intrinsik Anak Kuliahan, Jangan Tanya UTS Susah atau Gampang?

Riset Harvard University (2023) menyebut 73% anak yang sering disebut “tidak bersemangat belajar” sebenarnya memiliki tingkat motivasi intrinsik yang rendah, bukan kemampuan kognitif yang kurang. Artinya, banyak anak bukan tidak bisa tapi belum tahu mengapa harus bersemangat. Anak yang belum tahu, apa hubungannya semangat dengan belajar?

 

Di rumah sering terjadi. Saat seorang anak enggan membereskan mainannya. Bukan karena anak itu nakal tapi karena tugas membereskan mainan tidak punya arti apa pun baginya. Si anak tidak melihat ada koneksi antara kerapian dan kenyamanan. Di titik inilah peran orang tua menjadi krusial: bukan sekadar memberi perintah untuk membereskan. Tapi membantu anak menemukan makna di balik setiap tindakannya.

 

Membangun motivasi intrinsik anak. Begitulah yang saya lakukan sekarang. Sejak Agustus 2025 lalu, anak saya mulai kuliah di Prodi Kesehatan Masyarakat FK Unnes (Universitas Negeri Semarang). Jadi anak kost dan giat sebagai anak kuliahan. Kebetulan minggu ini lagi balik ke rumah sebab UTS secara daring. UTS dari pagi sekaligus mengerjakan tugas kuliah hingga larut malam. Sama sekali tidak bisa diganggu. Dan baru malam ini baru bisa ngobrol dengannya, itu pun sambil rileks dan makan malam. Sementara besok Minggu (19/10), dia sudah kembali ke Semarang. Momen dengan anak dibuat ringan-ringan saja.

 

Saat ngobrol dengannya, saya tidak bertanya “susah atau gampang UTS-nya?”. Sebab bila sudah atau gampang pun saya tidak paham tentang ilmu yang dipelajari anak saya, kesehatan masyarakat itu seperti apa?

 

Saya hanya bertanya,, “Bagaimana rasanya Nak setelah UTS?” Sebuah pertanyaan reflektif yang menghubungkan pengalaman dengan emosi. Sebagai cara untuk membantu anak saya menemukan makna personal dari UTS yang dialaminya. Maklum, baru menjadi mahasiswa dan pengalaman pertama baginya. Saya hanya ingin menumbuhkan motivasi intrinsic pada dirinya. Mengajaknya merenung setelah melakukan sesuatu.

Kenapa begitu? Bagi saya, anak yang terbiasa merefleksikan tindakannya akan membangun koneksi antara tindakan dan tujuan. Ia kuliah tidak hanya sebatas apa yang harus dilakukan. Tapi paham mengapa hal itu penting baginya. Untuk menjadikannya sebagai pembelajar mandiri yang tidak perlu disuruh untuk bertumbuh. Sebab motivasi anak, sejatinya tidak bisa ditanamkan dari luar. Tapi hanya dapat ditumbuhkan dari dalam dirinya sendiri. Tahu makna atas tindakan yang dilakukannya. Membiarkan si anak untuk memahami tentang mengapa dan bagaimana sesuatu itu dilakukannya?

 

Bagi saya, tugas utama pendidikan itu bukan memaksa anak bekerja keras untuk mencapai hasil. Tapi membantu anak menemukan alasan kenapa harus melakukannya? Bahwa semangat kuliah atau semangat belajar harusnya lahir dari makna, bukan dari tekanan. Sebab pendidikan berbasis “hasil” hanya membentuk fixed mindset. Tapi pendidikan bertumpu pada “proses” akan menumbuhkan growth mindset.

 

Untuk anak, lebih baik berkata  “Kamu berusaha keras ya untuk ini” daripada “Kamu pintar sekali.” Fokus pada proses membuat anak mencintai perjalanan, bukan penghargaan. Proses untuk tumbuh lebih penting daripada mengejar hasil. Salam literasi!

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *