Seperti kebutuhan akan makan, akan minum. Pujian dianggap sebagai kebutuhan manusia. Ingin dipuji sama persis dengan kebutuhan untuk dihormati, kebutuhan untuk dihargai. Tapi sayangnya, banyak orang butuh pujian tapi sama sekali tidak siap mendapat cacian atau celaan.Akankah pujian jadi kebutuhan manusia?
Pujian memang manusiawi, seperti kehormatan dan penghargaan. Tapai sayangnya, pujian itu bersifat abstrak. Tolok ukurnya semakin tidak jelas. Orang yang sudah tua dan berumur kok masih minta dipuji dan dibilang ganteng. Berbuat baik kepada orang lain sudah jadi perintah-Nya kok ingin dipuji? Pujian memang boleh, dihormati pun layak untuk siapapun. Asal bukan diminta atau ditunttu, tapi terjadi secara alamiah. Untuk apa mengerjakan sesuatu atau berprestasi karena ingin dipuji. Itulah yang disebut “salah ingin”.
Di zaman begini di era media sosial, tidak sedikit orang melakukan sesuatu ingin dipuji. Mungkin, biar dibilang keren. Biar jadi “topik pembicaraan”. Hari-harinya jadi sibuk ingin dipuji. Apapun yang dikerjakan pengen dipuji orang lain. Salah fokus, karena sibuk apapun ingin dipuji. Padahal hari ini, sibuk harusnya untuk berbuat kebaikan dan menebar manfaat kepada orang lain. Ada atau tidak ada pujian, tetap konsisten berbuat baik dan menebar manfaat.
Ingin dipuji dan ingin dihormati ternyata identik dengan gangguan kepribadian narsistik. Buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-Fourth Edition menyebutkan seseorang dianggap memiliki gangguan kepribadian narsistik bila memiliki 5 dari 9 ciri pribadi yang narsis. Ke-9 ciri pribadi narsistik adalah 1) gampang iri hari, 2) kurang rasa empati, 3) bersikap angkuh, 4) merasa paling hebat, 5) merasa pantas dipuji, 6) arogan, 7) ingin mendapat hak istimewa, 8) percaya diri semu (palsu), dan 9) sensitif terhadap kritik. Jadi, hati-hati terhadap pujian. Bisa melemahkan dan menjerumuskan ke pribadi narsis. Hingga akibatnya, bila sudah narsis pasti cenderung memperlakukan orang lain seenaknya. Tidak punya kepedulian pada orang lain. Sulit berbuat baik dan mau menebra manfaat di mana pun. Sekali lagi, hati-hati bila masih punya keinginan untuk dipuji.
Maka siapapun harus memahami jati dirinya. Sadar untuk apa hadir di muka bumi? Paham mau ke mana akhirnya berujung, tetap di dunia atau ke akhirat? Kenali lagi jati diri, siap akita sesungguhnya? Perbaiki terus niat, baguskan ikhtiar, dan perbanyak doa untuk selalu berbuat baik dan menebar manfaat. Bukan sebaliknya, mengerjakan sesuatu karena ingin dipuji, ingin dihormati. Agak salah bila bekerja, kara, berpangkat, punya hobi keren, atau apapun hanya untuk dipuji.
Spirit tidak ingin dipuji itulah yang melandasi pegiat literasi di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Hanya berdasar komitmen dan konsisten tetap menegakkan perilaku membaca dan budaya masyarakat. Berkiprah secara sosial dan mengabdi ke masyarakat sebagai realisasi jati diri. Sebagai makhluk sosial, untuk selalu berbuat baik dan menebar manfaat sekalipun melalui aktivitas literasi di taman bacaan. Tidak peduli ada pujian atau tidak, dihormati atau tidak. Pegiat literasi menjalani segalanya atas dasar peduli, ikhlas, sabar, dan Syukur. Ukurannya, tetap konsisten atau hanya angin-anginan semata. Maka soal jati diri pegiat literasi di taman bacaan sangat penting.
Bertanyalah, kenapa ingin dipuji? Bukankah suatu kali pujian justru menyesatkan. Sudah banyak contoh konkret, kemarin-kemarin dipuji lalu kemudian terperosok jatuh. Sebab terlalu banyak dipuji jadi lalai dan “terpaksa” mempertahankan gaya hidup. Akibat pujian jadi malu dan gengsi untuk menerima realitas. Ibaratnya, nggak punya uang tapi bergaya seperti punya uang. Hidup dalam rekayasa, dalam kamuflase atas nama pujian.
Siapapun, termasuk pegiat literasi bila paham akan jati dirinya, maka sama sekali tidak tidak perlu lagi pujian. Cukup kerjakan yang baik dan tebarkan manfaat di mana pun dengan sepenuh hati, dengan penuh komitmen dan konsisten. Karena untuk apa berharap pujian dari manusia? Salam literasi #PegiatLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka